logo

logo
gunadarma

Sabtu, 20 Oktober 2012

PERILAKU BIAYA


Yang dimaksud dengan perilaku biaya adalah pola perubahan biaya dalam kaitannya dengan perubahan volume kegiatan atau aktivitas perusahaan (misal volume produksi atau penjualan).
Biaya Tetap
Biaya Variabel Biaya Semi Variabel, adalah biaya-biaya yang totalnya selalu berubah tetapi tidak proporsional dengan perubahan volume kegiatan perusahaan.

Dalam biaya semi variable ini terkandung unsur biaya tetap dan unsur biaya variable. Dalam hubungannya dengan keperluan perencanaan dan pengendalian biaya oleh manajemen, maka biaya ini harus dapat dipisahkan kedalam biaya tetap dan biaya variabel Untuk menggambarkan hubungan antara Biaya Total dengan volume kegiatan perusahaan pada umumnya dinyatakan dengan fungsi biaya sebagai berikut :
Y = a + b.X
Y = Biaya Total
X = Volume kegiatan
a = Total Biaya Tetap
b = Total Biaya Variabel
Biaya Total = Total Biaya Tetap + Total Biaya Variabel


Sumber: http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2060418-perilaku-biaya/#ixzz29YGjO7oO

AKUNTANSI PERSEDIAAN


1.                  PENGERTIAN PERSEDIAAN DAN CARA PENCATATAN
Persediaan merupakan barang yang diperoleh untuk dijual kembali atau bahan untk diolah menjadi barang jadi atau barang jadi yang akan dijual atau barang yang akan digunakan. Persediaan ini dapat dicatat dengan dua sistem yaitu: Sistem Periodik dan Sistem Perpetual.
Dalam Metode Perpetual, pada waktu membeli barang dibuat jurnal yang men-debet akun Persediaan Barang Dagangan dan meng-kredit akun Hutang atau Kas. Pada waktu menjual barang dibuat jurnal yang mendebet akun Harga Pokok Penjualan dan mengkredit akun Persediaan sehingga akun Persediaan akan menunjukkan harga pokok dari persediaan yang ada di gudang.
Jika menggunakan Sistem Periodik, jika ada penjualan barang tidak dibuat jurnal untuk harga pokok dari barang yang dijual di bagian akuntansi. Pada akhir tahun, persediaan yang ada di gudang penyimpanan dihitung jumlah kuantitasnya dan ditentukan nilai/harga belinya. Untuk menentukan persediaan yang dipakai/dijual, persediaan yang pernah ada (persediaan awal ditambah pembelian selama satu periode) dikurangi dengan persediaan akhir periode. Kemudian dibuat dua ayat jurnal penyesuaian. Jurnal yang pertama mendebet akun Ikhtisar Laba Rugi dan mengkredit akun Persediaan sejumlah persediaan awal. Jurnal yang kedua didasarkan atas hasil inventarisasi fisik barang pada akhir tahun. Jurnalnya mendebet akun Persediaan Barang Dagangan dan mengkredit akun Ikhtisar Laba Rugi. Ayat jurnal ini dibuat sekaligus dalam satu periode.
Berikut ini adalah ilustrasi jurnal untuk sistem perpetual dan sistem periodic, namun belum mencakup seluruh transaksi berkaitan dengan persediaan, seperti pembayaran ongkos angkut, penerimaan dan pemberian diskon.
Transaksi
Sistem Periodek
Sistem Perpetual
1.
Membeli barang dagangan secara kredit Rp 10.000
Pembelian
Hutang
10.000

 
10.000
Persediaan Brg Dag
Hutang
10.000

 
10.000
2.
Retur pembelian Rp 500
Hutang
Retur Pembelian
500

 
500
Hutang
Persediaan Brg Dag
500

 
500
3.
Terdapat barang yang dijual. Harga jual Rp 4.000 dan harga pokok barang Rp 1.500
Piutang/Kas
Penjualan
4.000

 
4.000
Piutang/Kas
Penjualan
HPP
Persediaan Brg Dag
4.000

 
1.500

 
4.000

 
1.500
4.  
Pada akhir tahun 
Mutlak harus dilakukan inventarisasi fisik karena tanpa inventarisasi fisik barang, tidak dapat diketahui persediaan yang ada
Tanpa inventarisasi sudah dapat diketahui persediaan, namun inventarisasi perlu dilakukan 
Misalkan menurut perhitungan fisik pada akhir tahun saldo persediaan Rp 200 dan pada awal tahun Rp 150.

 
Ikhtisar L/R
Persediaan B.D.

 
Persediaan B.D
Ikhtisar L/R

 
150

 

 
200

 

 
150

 

 
200
Jika hasil inventarisasi fisik tidak sama dengan saldo rekening persediaan, perusahaan perlu membuat jurnal, jika sama tidak perlu membuat jurnal.

 
1.                  MENENTUKAN COST DARI PERSEDIAAN AKHIR
Jika perusahaan sering membeli barang dan harga beli masing-masing pembelian berbeda, maka perusahaan akan mengalami kesulitan dalam menentukan harga pokok barang yang dipakai/dijual dan harga pokok barang yang masih ada di gudang.
Sebagai contoh data persediaan barang dagangan untuk bulan Januari 2006 sebagai berikut:
    
Januari 1 Persediaan        200 unit @ $10 = $2,000
        12 Pembelian        400 unit @ $12 = $4,800
        26 Pembelian        300 unit @ $11 = $3,300
        30 Pembelian        100 unit @ $13 = $1,300

 
Setelah dilakukan inventarisasi fisik, jumlah pesediaan per 31 Januari 2006 adalah 300 unit. Tentukan:
1.      Persediaan per 31 Januari 2006.
2.      Harga pokok persediaan yang dijual dalam bulan Januari 2006.
    Barang yang tersedian untuk dijual selama bulan Januari adalah 200 + 400 + 300 + 100 = 1.000 unit, maka barang yang dijual adalah 1.000 – 300 = 700 unit. Karena harga belinya berbeda-beda, maka perlu asumsi arus barang yang akan digunakan sebagai dasar penentuan harga pokok barang yang dijual dan persediaan akhir sebagai berikut:
1.                  FIFO (First In First Out), barang yang masuk terlebih dahulu dianggap yang pertama kali dijual/keluar sehingga persediaan akhir akan berasal dari pembelian yang termuda/terakhir.
2.                  LIFO (Last In First Out), barang yang terakhir masuk dianggap yang pertama kali keluar, sehingga persediaan akhir terdiri dari pembelian yang paling awal.
3.                  Rata-rata (Everage), pengeluaran barang secara acak dan harga pokok barang yang sudah digunakan maupun yang masih ada ditentukan dengan cara dicari rata-ratanya.
Penerapan asumsi ini berlaku baik dalam sistem periodik maupun dalam sistem perpetual.
1.                  Jika perusahaan menggunakan Sisem Periodik
1.                  FIFO
Dengan metode ini jumlah barang yang digunakan sebanyak 700 unit diasumsikan berasal dari barang yang pertama kali dibeli, yaitu:
    200 unit                @ $10 = $2,000
    400 unit                @ $12 = $4,800
    100 unit                @ $11 = $1,100
    Harga pokok penjualan             $7,900
Selanjutnya persediaan yang 300 unit dianggap dari pembelian tanggal 26 dan 30 Januari 2006 dengan rincian sebagai berikut:
    200 unit                @ $11 = $2,200
    100 unit                @ $13 = $1,300
    Persediaan akhir             $3,500

 
2.                  LIFO
Dengan metode ini jumlah barang yang dijual sebanyak 700 unit diasumsikan berasal dari barang yang terakhir dibeli, yaitu:
100 unit                @ $13 = $1,300
300 unit                @ $11 = $3,300
300 unit                @ $12 = $3,600
Harga pokok penjualan             $8,200
Selanjut persediaan akhir 300 unit dianggap berasal dari pembelian tanggal 1 dan 12 Januari 2006, yaitu:
200 unit                @ $10 = $2,000
100 unit                @ $12 = $1,200
Persediaan akhir             $3,200

 
    3). Metode Rata-rata
Untuk menghitung persediaan akhir dan harga pokok penjualan perlu dibuat perhitungan sebagai berikut:
Tanggal
Keterangan
Unit
Harga per Unit
Jumlah
Jan 1
Persediaan
200
$10
$2,000
12
Pembelian
400
$12
$4,800
26 
Pembelian 
300
$11 
$3,300 
30 
Pembelian 
100 
$13 
$1,300 
Jumlah 
1,000 

$11,400 
Rata-rata = $11,400 : 1,000 
$11.4 
Harga pokok penjualan = 700 x $ 11.4 = $7,980
Persediaan akhir = 300 x $11.4 = 3,240

 
1.                  Jika perusahaan menggunakan Sistem Perpetual
Jika perusahaan menggunakan sistem perpetual, penentuan harga pokok barang yang dijual dan persediaan akhir dilakukan setiap perusahaan menjual barang. Untuk mempermudah pekerjaan menentukan harga pokok ini digunakan suatu kartu yang lazim disebut Kartu Persediaan. Satu jenis barang disediakan satu Kartu. Dengan demikian sistem ini baru cocok untuk persediaan yang nilainya tinggi.
Misalkan atas satu jenis barang diperoleh informasi sebagai berikut:
    Tanggal 
Keterangan 
Unit 
Harga Beli per Unit 
Jan. 1 
Persediaan 
200 
$10 
12  
Pembelian
400 
$12 
17  
Dijual 
300 

26 
Pembelian 
300 
$11 
27  
Dijual 
200 

28 
Dijual 
300 

30 
Pembelian 
100 
$13 

 
Berikut ini hanya diberikan contoh metode FIFO:

 
Tgl

 
Ket
Dibeli
Dipakai
Persediaan
Unit
Cost
Jumlah
Unit
Cost
Jumlah
Unit
Cost
Jumlah
Jan 1
Persediaan






200
10
2,000
12 
Pembelian 
400
12
4,800



200
400 
10
12 
2,000
4,800 
17 
Dijual 



200
100
10
12
2,000
1,200
300 
12 
3,600 
26 
Pembelian 
300 
11 
3,300 



300
300 
12
11 
3,600
3,300 
27 
Dijual 



200
12
2,400
100
300 
12
11 
1,200
3,300 
28 
Dijual



100
200 
12
11 
1,200
2,200 
100 
11 
1,100 
30 
Pembelian 
100 
13 
1,300 



100
100 
11
13 
1,100
1,300 

 
1.                  MENAKSIR COST PERSEDIAAN
Kadangkala situasi tidak memungkinkan dilakukan penghitungan fisik atau sistem perpetual sangat mahal untuk diterapkan. Suatu supermarket dengan beribu macam jenis persediaan mungkin akan terganggu operasionalnya jika setiap bulan harus melakukan penghitungan fisik persediaan dalam rangka menyusun laporan keuangan bulanan. Perusahaan asuransi dalam menentukan besarnya kerugian atas persediaan yang terbakar tidak mungkin menghitung secara fisik barang yang terbakar karena barangnya sudah rusak bahkan habis.
Keadaan di atas mendorong dilakukan penaksiran cost dari persediaan. Terdapat dua metode yang sering digunakan yaitu metode harga eceran dan metode laba kotor.
1.                  Metode Harga Eceran
Cost persediaan ditentukan dengan mengkonversi persediaan menurut harga eceran menjadi cost dengan mengggunakan prosentase cost terhadap harga eceran. Contoh:
                    
                        Harga Pokok (Cost)    Harga Eceran
Persediaan 1 Januari 2005            $ 60,000        $ 100,000
Pembelian Januari 2005                $ 540,000        $ 900,000
Barang tersedia untuk dijual            $ 600,000        $ 1,000,000
% Cost thd Harga Eceran=
    (600,000 : 1,000,000) x 100% = 60%
Penjualan                                $ 700,000
Persediaan akhir                            $ 300,000

 
Nilai cost persediaan akhir = 60% x $ 300,000 = $ 180,000
2.                  Metode Laba Kotor
Persediaan akhir ditentukan dengan cara persediaan awal ditambah dengan pembelian selama satu periode kemudian dikurangi dengan harga pokok barang yang dijual pada periode yang bersangkutan. Untuk menentukan harga pokok penjualan, penjualan yang telah dicatat dalam rekening penjualan dikurangi dengan laba kotornya. Umumnya laba kotor ini sudah diketahui %-nya. Jika belum diketahui, % laba kotornya digunakan % laba kotor tahun-tahun sebelumnya. Misalkan persediaan awal tahun 2005 $ 100,000 pembelian selama bulan Januari $ 1,200,000 dan penjualan selam bulan Januari menurut rekening buku besar $ 90,000 dan laba kotor 20% dari harga jual, maka persediaan akhir dapat dihitung sebagai berikut:
        Persediaan 1 Januari 2005                    $ 100,000
        Pembelian Januari 2005                        $ 1,200,000
        Barang tersedia untuk dijual                    $ 1,300,000
        Penjualan                $ 900,000
        Laba Kotor (20% x $ 900,000)        $ 180,000
        Harga pokok barang yang dijual                    $ 720,000
        Persediaan akhir                        $ 580,000

 
1.                  MENYAJIKAN NILAI PERSEDIAAN DI NERACA
Nilai yang disajikan di neraca dpat saja nilai costnya seperti yang telah ditentukan dengan berbagai asumsi arus barang. Nilai yang disajikan di neraca dapat juga nilai pasarnya. Atau dapat juga dipilih yang terendah antara cost dengan harga pasarnya.
Biasanya nilai yang disajikan di neraca adalah nilai yang terendah antara cost dengan harga pasarnya. Misalnya dalam perusahaan mempunyai persediaan dengan cost $ 1,000. Pada akhir tahun harga pasar dari persediaan tersebut adalah $ 900, maka yang disajikan di neraca adalah $ 900. Jika harga pasar barang tersebut adalah $ 1,100, maka yang disajikan di neraca adalahcostnya yaitu $ 1,000.
Yang dimaksud dengan cost adalah pasar harga yang tidak lebih tinggi dari ceiling dan tidak boleh lebih rendah dari floorCeiling adalah taksiran harga jual dikurangi dengan taksiran biaya penjualan barang tersebut. Floor adalah ceiling dikurangi dengan laba normal. Misalkan perusahaan telah menaksir biaya penjualan adalah 2% dari harga jual dan laba kotor yang normal bagi perusahaan itu adalah 20% dari harga jual maka berikut ini diberikan beberapa kemungkinan sebagai berikut:

 
Kasus

 
Cost
($) 
Market 

 
COMWIL
($)
Replacement
Cost ($) 
Floor
($) 
Ceiling
($) 
Market
($) 
A
.65
.70
.55
.80
.70
.65
B
.65
.60
.55
.80
.60
.60
.65
.50
.55
.80
.55
.55
.50
.45
.55
.80
.55
.50
.75
.85
.55
.80
.80
.75
.90
1.00
.55
.80
.80
.80

 
Dalam kasus A replacement cost berada di antara floor dan ceiling, oleh karena itu replacement costakan mewakili market untuk dibandingkan dengan cost yaitu $ .65. Ternyata cost $.65 lebih rendah dari market ($.70) oleh karena itu harga yang dilaporkan adalah cost nya yaitu $ .65.
Dalam kasus B, replacement cost yang $.60 berada di antara ceiling, dan floor oleh karena itureplacement cost dapat mewakili market kemudian dibandingkan dengan cost $.65. Ternyata market lebih rendah, maka yang disajikan di neraca adalah market.
Dalam Kasus C, replacement cost $.50 ternyata dibawah floor maka market diwakili oleh floor, kemudian dibandingkan dengan cost, ternyata floor lebih rendah, maka yang disajikan di neraca adalah floor
Dalam kasus D, replacement cost di bawah floor, maka market diwakili oleh floor dan dibandingkan dengan cost. Ternyata cost lebih rendah, maka yang disajikan di neraca adalah cost. Begitu juga kasus E.
Dalam kasus F, replacement cost di atas ceiling, sehingga ceiling, mewakili market dan dibandingkan dengan cost, ternyata lebih rendah, sehingga yang disajikan di neraca adalah ceiling,.