logo

logo
gunadarma

Jumat, 27 April 2012

DENDA DAN KURUNGA KASUS TUGU TANI

Ratusan ribu masyarakat di jejaring sosial facebook menghujat, mengutuk, bahkan mendesak polisi dan pengadilan menghukum Afriyani Susanti (29), ‘si jagal’ maut Tugu Tani, Jl. Ridwan Rais, Jakarta Pusat, seberat mungkin karena telah menewaskan seketika sembilan pejalan kaki dan empat orang lainnya luka-luka dengan mobilnya pada Minggu (22/1).

Desakan serupa juga datang dari jutaan masyarakat dan keluarga korban yang geram atas peristiwa berdarah tersebut. Mereka sampaikan rasa kesalnya melalui berbagai media masa, baik lokal maupun nasional. Termasuk aksi tabur bunga di lokasi kejadian secara spontan yang dilakukan ratusan orang pada Selasa (24/1).

Seperti halnya komunitas facbook, sebagian besar masyarakat yang geram itu berharap hukum di negeri ini memberi rasa keadilan bagi keluarga korban. Ancaman pidana yang diterapkan polisi atas peristiwa itu, yakni pasal 310 ayat (1, 2, 3 dan 4 ) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dianggap belum cukup adil.

Sebab, bayangan mereka, sembilan nyawa melayang sia-sia dan emat orang luka-luka serius—satu di antaranya mengalami kerusakan pada organ limpa—pelakunya hanya mendapat ancaman hukuman penjara enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 12 juta. Sesuai sanksi hukum di pasal tersebut.

Itu artinya, menurut persepsi mereka, meski Afriyani Susanti telah menewaskan banyak manusia, tapi ancaman hukuman badan atas kesalahan yang dilakukan bisa diganti dengan membayar denda. Untuk selanjutnya, tak perlu menjalani masa tahanan selama enam tahun, sebagaimana ancaman hukumannya.

 Jika benar begitu, UU tersebut dirasakan tidak memihak kepada korban. Justru akan menimbulkan preseden buruk bagi tatanan hukum di negeri ini, khususnya terhadap peristiwa serupa.

Tapi, agaknya, memang sudah menjadi preseden. Para pengemudi kendaraan, terutama sopir bus angkutan umum, tak lagi takut dengan acaman enam tahun penjara, sepanjang kurungan badan tersebut dapat dikonpensasikan dengan uang. Akibatnya, mereka menjadi raja jalanan, ugal-ugalan tanpa peduli keselematan pejalan kaki atau pengguna jalan raya lainnya. Toh, jika menabrak orang hingga tewas, tak mesti masuk bui. Cukup bayar denda, dan bebas dari ancaman sanksi hukum.

Tak Dibenarkan

Padahal, tindakan membabibuta di jalan raya, terlebih merenggut nyawa manusia, siapapun pelakunya tak bisa dibenarkan. Apalagi korbannya lebih dari satu, atau yang kerap terjadi pada angkutan umum seperti bus, menewaskan hingga belasan penumpang. Namun, dari satu peristiwa ke insiden maut lainnya, belum pernah ‘si jagal’ jalan raya diganjar hukuman belasan tahun hingga seumur hidup. Terlebih lagi vonis mati. Umumnya divonis hakim dengan hukuman percobaan atau denda, sekalipun ada ancaman enam tahun penjara.

Ini yang menjadi persoalan. Sebab, seluruh pasal di UU No. 22 Tahun 2009, pengganti UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, tidak termaktub di dalamnya ancaman penjara nominal belasan tahun, seumur hidup atau mati.  Ketentuan hukum pada perundangan tersebut bersifat pelanggaran ringan, atau lebih dikenal sebagai Tipiring (tindak pidana ringan), yakni yang terkait dengan urusan marka jalan, serta kelalaian ketika mengemudikan kendaraan.

Melihat kenyataan tersebut, tuntutan dan harapan komunitas facebook, masyarakat luas, dan keluarga korban percuma saja. Sia-sia.  Tak ada pasal di perundangan itu sebagaimana yang mereka inginkan. Polisi pun tak mungkin mengakumulasi perundangan lain, jika peristiwa maut terjadi hanya kelalaian pengemudi. Kecuali ada hal lain, yaitu ketika mengemudi dipengaruhi suatu keadaan yang berkibat konsentrasi mengemudi di jalan terganggu.

Misalnya, kasus kecelakan maut di Tugu Tani. Afriyani Susanti selaku pengendara Daihatsu Xenia B 2749 XI memang dapat dihukum berat, tapi bukan karena kelalaiannya mengemudi hingga menewaskan banyak manusia, melainkan penggunaan Narkotika jenis ekstasi. Sementara ‘pembunuhan’ terhadap Sembilan orang, dan melukai empat pejalan kaki, ancamannya tak lebih dari enam tahun.


Yurisprudensi

Sebagai pelanggar UU No.22 Tahun 2009, Afriyani Susanti tak bisa dihukum hingga belasan tahun, apalagi seumur hidup. Karena yang dlanggar adalah perundangan Tipiring, yang tak mengenal jumlah hukuman sebanyak itu. Kecuali jika ada yurisprudensi putusan hakim yang menggebrak ancaman enam tahun menjadi belasan tahun atau seumur hidup atas kelalaian mengemudi.

Memang pernah ada hakim yang geram, memvonis pengemudi bus maut hingga belasan tahun penjara beberapa waktu lalu di salah satu pengadilan negeri Jawa Timur. Selebihnya di bawah enam tahun, bahkan tak sedikit ‘si jagal’ jalanan itu bebas dari tuntutan hukum setelah menyantuni keluarga korban. Perkaranya pun selesai diproses penyidikan polisi, tak sampai ke pengadilan.

Untuk kasus Afriyani Susanti, apakah akan diproses hukum dengan menggunakan putusan yurisprudensi tersebut? Bisa ya, bisa juga tidak. Tergantung hakim yang mengadli tragedi Minggu berdarah di Tugu Tani. Tapi, kecil kemungkinannya. Mengingat ada kasus lain yang bakal menjerat perempuan bertubuh gempal tersebut, yakni UU Narkotika.

Jadi, menyingkapi maraknya ‘pembunuhan’ di jalan raya lantaran pengemudinya lalai, hanya ada satu kata, yakni Undang-undang UU No.22 Tahun 2009 harus direvisi kembali, karena sudah tak sesuai lagi dengan perkembangan pengguna jalan saat ini. Sebagaimana ketika Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 belum direvisi menjadi perundangan yang sekarang ini diberlakukan. Pemerintah dan DPR harus mengkaji kembali, terutama menyangkut masalah sanksi hukuman bagi ‘si jagal’ maut jalan raya.

Banyak pihak, terutama keluarga korban yang tewas dan menderita luka permanen di Tugu Tani, menilai pasal di UU No.22 Tahun 2009  tak mencerminkan rasa keadilan mereka. Terlebih lagi peristiwanya bukan lantaran kendaraan tak layak jalan, tapi karena diduga Afriyani Susanti pada saat pengemudi dipengaruhi Narkoba, sehingga kurang konsentrasi. Tak ada pasal untuk pelanggaran seperti itu di UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Itu sebabnya, sangat diperlukan pasal baru, atau ketentuan lain atas penyebab kelalaian mengemudi sehingga terjadi kecelakaan yang merugikan pihak lain, baik dalam bentuk kerusakan harta benda, luka-luka dan kematian. Ancaman untuk itu harus tinggi, tanpa diembel-embeli kopensasi denda yang dapat menyinggung rasa keadilan masyarakat, khususnya keluarga korban.  


KASUS GAYUS

Jakarta Gayus Tambunan kembali menambah jumlah masa hukumannya setelah dinyatakan terbukti bersalah atas kasus suap dan pencucian uang yang dilakukannya. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman pidana kurungan 6 tahun untuk mantan pegawai Ditjen Pajak itu.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa selama 6 tahun penjara dengan denda Rp 1 miliar," tutur Ketua Majelis Hakim Suhartoyo di Pengadilan Tipikor, Jl Rasuna Said, Jaksel, Kamis (1/3/2012). Gayus tampak tertunduk mendengar tuntutan itu.

Sebelumnya, Gayus Tambunan dituntut dengan hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan. Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (5/1), jaksa penuntut umum menuntut Gayus dalam empat perkara sekaligus.

SUMBER:http://sawah-subur.blogspot.com/2012/03/gayus-hanya-divonis-6-tahun-penjara-dan.html

APA KAH DENDA ITU..???


Apa itu denda? Pasti sudah pada tahu apa itu denda. Ya, denda itu salah satu bentuk hukuman berupa kewajiban pembayaran sejumlah uang. Ada dua jenis denda, denda sebagai sanksi pidana dan denda sebagai sanksi administratif. Prinsipnya sama, sama-sama penghukuman, yang berbeda adalah bagaimana denda tersebut dijatuhkan, kepada siapa denda tersebut dibayarkan, serta bagaimana konsekuensinya jika denda tidak dibayarkan oleh terhukum. Setidaknya  tiga hal tersebut perbedaannya.
Sebagai hukuman, denda seperti halnya jenis-jenis hukuman lainnya hanyalah alat pendera, alat untuk membuat ‘sakit’ pelanggar hukum. Jika rasa sakit yang ingin dicapai dari hukuman penjara atau kurungan adalah hilangnya kebebasan bergerak untuk sementara waktu (atau seumur hidup), untuk denda tentunya adalah hilangnya sebagian harta benda khususnya uang yang dimiliki oleh terhukum. Tentu rasa sakit bukan lah satu-satunya tujuan penghukuman, tapi dalam konteks ini cukup ini yang saya ingin jelaskan.
Sebagai alat pendera, denda tidak bertujuan untuk memperkaya negara atau mengembalikan kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku terhadap negara atau korban. Denda juga tidak bertujuan untuk membuat pailit pelaku. Walaupun bisa saja dari penjatuhan denda terhadap seorang pelaku negara menjadi diperkaya dan atau pelaku menjadi pailit, namun ini hanya ekses bukan tujuan. Mengapanegara diperkaya? Karena denda tentunya dibayarkan kepada negara dan menjadi bagian dari penerimaan negara bukan pajak.
Bagaimana jika terpidana tidak mau membayar denda? Tentu pertanyaan ini ada dibenak banyak orang, khususnya yang kurang memahami hukum pidana. Jawabannya sederhana, jika terpidana tidak mau (baik karena memang tidak mau atau karena hal lainnya) maka denda tersebut diganti dengan kurungan, namanya kurungan pengganti. Berapa lama? Maksimum 6 bulan, jika ada pemberatan (misalnya dihukum denda atas beberapa perbuatan) maka bisa diperberat menjadi paling lama 8 bulan. Kurungan pengganti ini merupakan cara untuk memaksa terpidana mau membayarkan denda, oleh karena umumnya memang orang lebih suka kehilangan uang dibanding kebebasan. Itu asumsinya. Dalam beberapa kasus  tentu saja akan ada orang-orang yang lebih memilih dikurung dibanding membayar denda, walaupun mampu. Selalu ada pengecualian untuk banyak hal pastinya.
Bagaimana jika setelah Terpidana menjalani kurungan pengganti tersebut ternyata ditengah masa kurungan ia berubah pikiran atau baru dapat duit untuk membayar denda? KUHP sudah mengantisipasinya, keren memang para penyusun KUHP ini, walaupun disusun lebih dari 1 abad yang lalu. Di pasal 30 dan 31 KUHP diatur mengenai hal ini. Intinya besarnya jumlah denda yang harus dibayar dikurangi dengan masa kurungan yang telah dijalaninya, dimana per hari masa kurungan disetarakan dengan sejumlah uang. Namun sayangnya nominal jumlah uang per harinya untuk mengukur hal tersebut masih terlalu kecil, Rp. 7.5,00 (ya, tujuh setengah rupiah). Ya, jumlah tersebut merupakan hasil penyesuaian dengan Perpu 18 Tahun 1960. Jika disesuaikan dengan Perma tentu menjadi Rp. 7.5 x 15 x 1000 = Rp. 107.500 / hari.
Problem perhitungan konversi denda ke kurungan pengganti ini mengalami beberapa kendala. Pertama, seperti terlihat di atas bahwa nilainya masih terlalu kecil. Perma 2/2012 yang baru saja terbit memang akan mampu mengatasi masalah tersebut, namun ini hanya mengatasi permasalahan khusus untuk denda yang diatur dalam KUHP, namun tidak akan mampu mengatasi problem perhitungan kurungan pengganti untuk denda-denda yang diatur di luar KUHP.
Mengapa demikian? Untuk denda (dan semua hukuman) telah disusun secara sistematis, dalam artian penyusun KUHP sudah membuat sistematika delik sedemikian rupa sehingga ancaman hukuman yang diatur pun sistematis. Namun tidak demikian untuk ketentuan-ketentuan pidana di luar KUHP. Jika di KUHP ancaman denda tertinggi di luar pasal 303 dan 303 bis (perjudian) adalah Rp 9.000,00 (sebelum terbitnya Perma 2/2012), di luar KUHP sangat bervariasi. Sebagai contoh untuk pidana denda di UU Tindak Pidana Korupsi ancaman denda berkisar antara Rp 50 juta s/d 1 milyar rupiah, sementara itu di UU Narkotika (35/2009) terdapat ketentuan yang mencantumkan ancaman dendanya minimal Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta) dan maksimum 8 milyar. Jika perhitungan dalam pasal 30 dan 31 KUHP diterapkan pada misalnya UU Narkotika tentunya menjadi tidak sebanding.
Ke depan, memang pengaturan mengenai denda harus disusun ulang. Harus ada patokan yang jelas berapa maksmimum denda dapat dirumuskan, dan patokan ini berlaku untuk semua ketentuan pidana, baik yang ada dalam KUHP maupun di luar KUHP. Dalam menentukan patokan maksimum denda tersebut hal yang perlu diperhatikan adalah filosofi denda itu sendiri seperti di atas, yaitu denda adalah penderaan, bukan bertujuan untuk memperkaya negara atau memiskinkan terpidana. Jika denda diatur sedemikian tingginya maka pada akhirnya tidak akan menjadi efektif, karena mendorong terpidana untuk lebih memilih kurungan pengganti dibandingkan membayar denda. Sebagai contoh dalam UU Narkotika tersebut, dengan denda minimum 800 juta dapat dibayangkan denda tersebut tidak akan efektif. Adakah orang yang mau rela atau mampu membayar 800 juta sementara jika ia tidak membayar kurungan penggantinya ‘hanya’ maksimum 6 bulan? Hanya terpidana-terpidana yang superkaya tentunya yang mampu dan mau membayar denda tersebut.
Denda jangan dikonversi dengan kurungan tapi dilakukan saja perampasan barang agar pada akhirya denda terbayar? Ya bisa-bisa saja, tapi kembali saya ingatkan filosofi denda bukanlah untuk memperkaya negara maupun memiskinkan terpidana, hanya sebagai pendera. Selain itu, pada akhirnya kurungan pengganti juga tetap perlu ada. Kenapa? Tentu tidak semua pelaku tindak pidana kaya atau memiliki aset sedemikian banyak sehingga aset tersebut jika dirampas dapat menutupi denda. Cukup banyak dan mungkin mayoritas terpidana justru tidak memiliki aset yang cukup banyak untuk dirampas, bahkan untuk pelaku tindak pidana korupsi pun. Nah, dalam hal aset yang dirampas tidak juga menutupi kewajiban denda tentu harus ada solusi lain untuk menggantikannya. Satu-satunya cara tentu dengan kurungan pengganti. Usulan agar denda yang tidak dibayarkan terpidana diganti dengan perampasan aset adalah usulan yang bias, yang menanggap semua pelaku kejahatan adalah orang kaya.
Kerja sosial sebagai pengganti denda? Bisa saja. Tapi bagaimana jika terpidana tidak mau atau tidak sanggup? Untuk memaksa terpidana mau menjalankan kerja sosial tersebut tentu harus ada ancaman yang lebih berat dari itu. apakah itu? Ya Perampasan kemerdekaan (baca: kurungan pengganti).
Mau cari alternatif lain? Ya bisa saja. Tapi dibanding ruwet sendiri sebaiknya kita kembali ke filosofi denda lagi, yaitu sebagai pendera. Bukan untuk mengganti kerugian, memperkaya negara atau memiskinkan pelaku.
Nah, lalu bagaimana mengganti kerugian yang ditimbulkan pelaku? Bukankah suatu kejahatan, katakanlah korupsi, pasti merugikan korban atau negara? Betul. Yang perlu diingat hukum pidana bukan instrumen untuk memulihkan kerugian bagi korban, hukum pidana bertujuan untuk menjaga sosial order. Untuk memulihkan kerugian telah disediakan mekanisme hukum lainnya, yaitu hukum perdata.

Minggu, 15 April 2012

Dampak positif dan negatif akibat perkembangan teknologi internet

  • 1. Dampak Positif dan Negatif Akibat Perkembangan Teknologi  Internet Internet mempunyai peran yang sangat penting bagi manusia. Tetapi selain dampak positif, ternyata Internet juga mempunyai banyak dampak negatif bagi kehidupan kita. Apa sajakah itu? Hal itulah yang akan kita bahas dalam presentasi ini. Semoga bisa bermanfaat
  • 2. Dampak Positif Internet Seperti yang kita semua ketahui, internet mempunyai banyak dampak positif dalam kehidupan manusia. Langsung saja lihat slide selanjutnya dan kita bisa mengetahui dampak positif dari internet.
  • 3. 1. Internet sebagai media komunikasi, kalau yang ini pasti teman – teman semua juga udah tau. Dengan adanya internet, kita bisa tetap berhubungan dengan orang - orang yang tidak bisa kita jumpai setiap hari. Sehingga kita bisa berkomunikasi dengan semua pengguna internet di seluruh dunia.
  • 4. 2. Media pertukaran data, dengan menggunakan email, newsgroup, ftp dan www (world wide web) para pengguna internet di seluruh dunia dapat bertukar pikiran secara cepat dan murah. Jadi ga usah repot – repot ke luar negeri kalo mau nyoba bertukar pikiran dengan orang – orang disana. Cukup buka internet aja…
  • 5. 3. Media untuk mencari informasi atau data, dengan perkembangan internet yang pesat, kini para pengguna dapat mencari informasi yang mereka perlukan secara mudah. Sehingga kita bisa menambah wawasan kita seluas mungkin.
  • 6. 4. Kemudahan bertransaksi dan berbisnis dalam bidang perdagangan, internet juga memberi kita kemudahan dalam berbisnis secara online. Dengan ini, kita tidak perlu menuju ke tempat penjualan/penawaran. Kalau kita bisa memanfaatkan hal ini, kita bisa mendapat penghasilan sendiri sehingga kita bisa membeli barang yang kita inginkan. Minimal bisa buat beli pulsa lah.. hehehe
  • 7. Dampak Negatif Internet Ada dampak positif, pasti juga ada dampak negatifnya. Banyak orang yang sudah terjebak oleh dampak negatif dari internet ini. Agar kita tidak terjerumus ke hal yang sama, berikut telah kami rangkum dampak – dampak negatif dari internet.
  • 8. 1. Pornografi, anggapan yang mengatakan bahwa internet identik dengan pornografi memang tidak salah. Dengan kemampuan penyampaian informasi di internet, pornografi pun merajalela. Di dalam internet, terdapat gambar-gambar pornografi yang bisa mengakibatkan dorongan kepada seseorang untuk bertindak kriminal.
  • 9. 2. Violence and Gore, Kekejaman dan kesadisan juga banyak ditampilkan. Karena segi bisnis dan isi pada dunia internet tidak terbatas, maka para pemilik situs menggunakan segala macam cara agar dapat menjual situs mereka. Salah satunya dengan menampilkan hal-hal yang bersifat tabu. Hal ini bisa mendorong seseorang untuk melakukan hal yang dia lihat di situs tersebut
  • 10. 3. Perjudian, dampak lainnya adalah meluasnya perjudian. Dengan jaringan yang tersedia, para penjudi tidak perlu pergi ke tempat khusus untuk memenuhi keinginannya. Kita hanya perlu menghindari situs seperti ini, karena umumnya situs perjudian tidak agresif dan memerlukan banyak pendukung untuk memunculkannya.
  • 11. 4. Mengurangi sifat sosial manusia karena cenderung lebih suka berhubungan lewat internet daripada bertemu secara langsung (face to face). Bahkan, terkadang walaupun sdang berkumpul dengan teman – temannya, pasti mereka selalu sibuk internetan dan tidak menghiraukan teman yang ada disampingnya.
  • 12. 5. Cyber Crime, ternyata dengan semakin maraknya pengguna internet para penjahat pun mulai merambah ke dunia maya untuk memperluas kejahatannya. Kebanyakan melakukannya dengan cara penipuan atau carding. Karena itu, kita harus terus waspada karena internet juga tidak luput dari incaran para penjahat.
  • sumber: http://www.slideshare.net/ditho1997/dampak-positif-dan-negatif-akibat-perkembangan-teknologiinternet

pendapat masyarakat tentang hukum di indonesia

Bila dicermati suramnya wajah hukum merupakan implikasi dari kondisi penegakan hukum (law enforcement) yang stagnan dan kalaupun hukum ditegakkan maka penegakannya diskriminatif. Praktik-praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang diskriminatif, jual beli putusan hakim, atau kolusi Polisi, Hakim, Advokat dan Jaksa dalam perekayasaan proses peradilan merupakan realitas sehari-hari yang dapat ditemukan dalam penegakan hukum di negeri ini. Pelaksanaan penegakan hukum yang “kumuh” seperti itu menjadikan hukum di negeri ini seperti yang pernah dideskripsikan oleh seorang filusuf besar Yunani Plato (427-347 s.M) yang menyatakan bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat. (laws are spider webs; they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful).

Implikasi yang ditimbulkan dari tidak berjalannya penegakan hukum dengan baik dan efektif adalah kerusakan dan kehancuran diberbagai bidang (politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Selain itu buruknya penegakan hukum juga akan menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin menipis dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan mencari keadilan dengan cara mereka sendiri. Suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) di masyarakat adalah salah satu wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang ad


Ekonomi Indonesia Perlu Didukung Kebijakan Politik Kondusif

Pemerintah  perlu berbenah diri dalam menegakkan hukum dan peraturan. Soalnya, hal demikian berdampak kepada kondisi dan kestabilan secara ekonomi, bisnis dan sosial. Angga Bratadharma
Jakarta–Sehatnya perekonomian nasional sekarang ini bukan berarti hanya mempertahankan dan terus meningkatkan performanya, namun dibutuhkan juga dukungan oleh situasi dan kebijakan politik yang kondusif bagi perkembangan bisnis dan penanaman modal di Indonesia.
Rektor Paramadina Anies Baswedan, kepada wartawan, di Jakarta, belum lama ini mengatakan, pemerintah Indonesia perlu berbenah diri dalam menegakkan hukum dan peraturan. Soalnya, hal demikian berdampak kepada kondisi dan kestabilan secara ekonomi, bisnis dan sosial.
”Tak bisa kita pungkiri bahwa sebagai negara yang multirasial, multietnis, dan masih memiliki kesenjangan ekonomi, Indonesia memang memiliki banyak potensi untuk terjadi friksi. Namun, konflik tidak akan terjadi seandainya pemerintah dapat menegakkan hukum dengan baik. Ini adalah salah satu persoalan utama yang kita hadapi dalam pertumbuhan demokrasi di Indonesia”, terang Anies.
Selain masalah kepastian hukum, tmbahnya, Indonesia juga masih mempunyai pekerjaan rumah dalam hal menumbuhkan good governance, antara lain dengan mengurangi biaya tak terduga dan uang sogok, beban bea cukai, dan meningkatkan transparansi pembuatan kebijakan.
“Hal-hal yang menyimpang itu telah merugikan negara cukup besar. Ini juga harus bisa diselesaikan dengan baik dan sesuai proporsi keadilan yang tepat”, tandasnya.
Sementara itu, analis ekonomi Citi Indonesia Johanna Chua mengingatkan, walaupun struktur perekonomian Indonesia sudah cukup tangguh, Bank Indonesia tetap harus waspada dengan kenaikan inflasi jangka pendek dan menyiapkan strategi untuk menyerap kembali likuiditas berlebih di pasar.
“Tentu harus ada pengawasan dan tetap berhati-hati. Kalau kita terlena takutnya nanti kita tidak bersiap dengan segala skenario diluar perkiraan kita”, tutup Johana. (*)

sumber:

Minggu, 01 April 2012

Pemerintah dinilai melanggar UU APBN tentang BBM

Pemerintah dinilai telah melanggar Undang-Undang No 11 Tahun 2011 tentang APBNP 2011. Hal ini dikarenakan kuota BBM bersubsidi tahun 2011 yang ditetapkan sebesar 40,49 juta kiloliter (kl) sebagaimana mandat APBN-P 2011, hanya cukup sampai 30 November 2011. Hal ini dikatakan Anggota VII DPR Sohibul Iman, Senin (5/12).

Sohibul mengatakan, pemerintah gagal menjalankan UU No 10 Tahun 2010 tentang APBN 2011 dan UU No 11 Tahun 2011 tentang APBNP 2011 yang mengamanatkan agar pemerintah melakukan kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi. Pasalnya, dalam pasal 7 ayat 2 (baik UU APBN 2011 dan UU APBNP 2011) menyatakan, pengendalian anggaran subsidi BBM 2011 dilakukan melalui efisiensi biaya distribusi dan alpha serta melakukan kebijakan pengendalian konsumsi BBM Bersubsidi.

“Pemerintah seharusnya serius dalam menjalankan amanah undang-undang tersebut,” ujar politisi PKS itu.

Menurutnya, perlu diambil langkah-langkah yang tepat agar jebolnya kuota BBM Bersubsidi tidak terulang kembali. Sejauh ini, kata Sohibul, pemerintah seperti tidak berdaya mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi.

Sebenarnya pemerintah sudah punya program pengendalian BBM bersubsidi dengan membatasi konsumsi BBM Bersubsidi hanya untuk kendaraan roda dua, kendaraan umum dan kendaraan pengangkut barang atau usaha kecil.

“Teknologi pengaturannya juga sudah ada, lampu hijau dari DPR sudah kami berikan, tapi pemerintah selalu ragu-ragu,” tambah Sohibul.

Sebelumnya, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan mengaku untuk tahun 2011, pihaknya telah mendistribusikan seluruh kuota yang ditetapkan pemerintah sebesar 40,49 juta kl. Pada November ini, kuota BBM bersubsidi itu telah habis.

Selain adanya tindakan penyelewengan, BBM bersubsidi habis untuk menyukseskan dua event besar yang diselenggarakan, yakni KTT ASEAN dan Sea Games XXVI. ‘Diperkirakan hingga akhir tahun ini kelebihan kuota BBM bersubsidi mencapai 1,4 juta KL, dari kouta yang ditetapkan sebesar 40,49 juta kl,” ujarnya di DPR akhir November lalu.

Namun, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Evita Legowo, membantah over kuota penggunaan BBM bukan dikarenakan adanya pelaksanaan SEA Games dan KTT Asean. Dia menegaskan, permintaan kuota BBM bersubsidi dalam APBN-P 2011 yang sebesar 40,49 juta kl itu sudah termasuk dalam penggunaan event-event besar seperti Sea Games dan KTT Asean.

Evita menjelaskan, penyebab utama over kuota adalah adanya disparitas harga antara BBM bersubsidi dan BBM nonsubsidi yang tinggi. Hal ini mengakibatkan banyaknya penyimpangan penggunaan BBM bersubsidi. “Banyak beberapa kendaraan seharusnya tidak mengambil, tapi masih memakai BBM bersubsidi karena disparitas harga,” terangnya.

Sementara itu, VP Corporate Communication PT Pertamina, M Harun, meminta semua pihak tidak saling menyalahgunakan terkait terlampauinya kuota BBM bersubsidi. Sebaliknya, dia mengimbau dicari jalan keluar yang baik untuk mengatasi masalah ini agar kebutuhan BBM bersubsidi untuk masyarakat dapat terpenuhi.
* UU No 10 tahun 2010 tentang APBN 2011 :
pasal 1 ayat 16 dan 17
16. Subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa, yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat.
17. Subsidi energi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan atau lembaga yang menyediakan dan mendistribusikan bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu, liquefied petroleum gas (LPG) tabung 3 (tiga) kilogram, dan tenaga listrik sehingga harga jualnya terjangkau oleh masyarakat yang membutuhkan.