Apa itu denda? Pasti sudah pada tahu apa itu denda. Ya, denda itu salah satu bentuk hukuman berupa kewajiban pembayaran sejumlah uang. Ada dua jenis denda, denda sebagai sanksi pidana dan denda sebagai sanksi administratif. Prinsipnya sama, sama-sama penghukuman, yang berbeda adalah bagaimana denda tersebut dijatuhkan, kepada siapa denda tersebut dibayarkan, serta bagaimana konsekuensinya jika denda tidak dibayarkan oleh terhukum. Setidaknya tiga hal tersebut perbedaannya.
Sebagai hukuman, denda seperti halnya jenis-jenis hukuman lainnya hanyalah alat pendera, alat untuk membuat ‘sakit’ pelanggar hukum. Jika rasa sakit yang ingin dicapai dari hukuman penjara atau kurungan adalah hilangnya kebebasan bergerak untuk sementara waktu (atau seumur hidup), untuk denda tentunya adalah hilangnya sebagian harta benda khususnya uang yang dimiliki oleh terhukum. Tentu rasa sakit bukan lah satu-satunya tujuan penghukuman, tapi dalam konteks ini cukup ini yang saya ingin jelaskan.
Sebagai alat pendera, denda tidak bertujuan untuk memperkaya negara atau mengembalikan kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku terhadap negara atau korban. Denda juga tidak bertujuan untuk membuat pailit pelaku. Walaupun bisa saja dari penjatuhan denda terhadap seorang pelaku negara menjadi diperkaya dan atau pelaku menjadi pailit, namun ini hanya ekses bukan tujuan. Mengapanegara diperkaya? Karena denda tentunya dibayarkan kepada negara dan menjadi bagian dari penerimaan negara bukan pajak.
Bagaimana jika terpidana tidak mau membayar denda? Tentu pertanyaan ini ada dibenak banyak orang, khususnya yang kurang memahami hukum pidana. Jawabannya sederhana, jika terpidana tidak mau (baik karena memang tidak mau atau karena hal lainnya) maka denda tersebut diganti dengan kurungan, namanya kurungan pengganti. Berapa lama? Maksimum 6 bulan, jika ada pemberatan (misalnya dihukum denda atas beberapa perbuatan) maka bisa diperberat menjadi paling lama 8 bulan. Kurungan pengganti ini merupakan cara untuk memaksa terpidana mau membayarkan denda, oleh karena umumnya memang orang lebih suka kehilangan uang dibanding kebebasan. Itu asumsinya. Dalam beberapa kasus tentu saja akan ada orang-orang yang lebih memilih dikurung dibanding membayar denda, walaupun mampu. Selalu ada pengecualian untuk banyak hal pastinya.
Bagaimana jika setelah Terpidana menjalani kurungan pengganti tersebut ternyata ditengah masa kurungan ia berubah pikiran atau baru dapat duit untuk membayar denda? KUHP sudah mengantisipasinya, keren memang para penyusun KUHP ini, walaupun disusun lebih dari 1 abad yang lalu. Di pasal 30 dan 31 KUHP diatur mengenai hal ini. Intinya besarnya jumlah denda yang harus dibayar dikurangi dengan masa kurungan yang telah dijalaninya, dimana per hari masa kurungan disetarakan dengan sejumlah uang. Namun sayangnya nominal jumlah uang per harinya untuk mengukur hal tersebut masih terlalu kecil, Rp. 7.5,00 (ya, tujuh setengah rupiah). Ya, jumlah tersebut merupakan hasil penyesuaian dengan Perpu 18 Tahun 1960. Jika disesuaikan dengan Perma tentu menjadi Rp. 7.5 x 15 x 1000 = Rp. 107.500 / hari.
Problem perhitungan konversi denda ke kurungan pengganti ini mengalami beberapa kendala. Pertama, seperti terlihat di atas bahwa nilainya masih terlalu kecil. Perma 2/2012 yang baru saja terbit memang akan mampu mengatasi masalah tersebut, namun ini hanya mengatasi permasalahan khusus untuk denda yang diatur dalam KUHP, namun tidak akan mampu mengatasi problem perhitungan kurungan pengganti untuk denda-denda yang diatur di luar KUHP.
Mengapa demikian? Untuk denda (dan semua hukuman) telah disusun secara sistematis, dalam artian penyusun KUHP sudah membuat sistematika delik sedemikian rupa sehingga ancaman hukuman yang diatur pun sistematis. Namun tidak demikian untuk ketentuan-ketentuan pidana di luar KUHP. Jika di KUHP ancaman denda tertinggi di luar pasal 303 dan 303 bis (perjudian) adalah Rp 9.000,00 (sebelum terbitnya Perma 2/2012), di luar KUHP sangat bervariasi. Sebagai contoh untuk pidana denda di UU Tindak Pidana Korupsi ancaman denda berkisar antara Rp 50 juta s/d 1 milyar rupiah, sementara itu di UU Narkotika (35/2009) terdapat ketentuan yang mencantumkan ancaman dendanya minimal Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta) dan maksimum 8 milyar. Jika perhitungan dalam pasal 30 dan 31 KUHP diterapkan pada misalnya UU Narkotika tentunya menjadi tidak sebanding.
Ke depan, memang pengaturan mengenai denda harus disusun ulang. Harus ada patokan yang jelas berapa maksmimum denda dapat dirumuskan, dan patokan ini berlaku untuk semua ketentuan pidana, baik yang ada dalam KUHP maupun di luar KUHP. Dalam menentukan patokan maksimum denda tersebut hal yang perlu diperhatikan adalah filosofi denda itu sendiri seperti di atas, yaitu denda adalah penderaan, bukan bertujuan untuk memperkaya negara atau memiskinkan terpidana. Jika denda diatur sedemikian tingginya maka pada akhirnya tidak akan menjadi efektif, karena mendorong terpidana untuk lebih memilih kurungan pengganti dibandingkan membayar denda. Sebagai contoh dalam UU Narkotika tersebut, dengan denda minimum 800 juta dapat dibayangkan denda tersebut tidak akan efektif. Adakah orang yang mau rela atau mampu membayar 800 juta sementara jika ia tidak membayar kurungan penggantinya ‘hanya’ maksimum 6 bulan? Hanya terpidana-terpidana yang superkaya tentunya yang mampu dan mau membayar denda tersebut.
Denda jangan dikonversi dengan kurungan tapi dilakukan saja perampasan barang agar pada akhirya denda terbayar? Ya bisa-bisa saja, tapi kembali saya ingatkan filosofi denda bukanlah untuk memperkaya negara maupun memiskinkan terpidana, hanya sebagai pendera. Selain itu, pada akhirnya kurungan pengganti juga tetap perlu ada. Kenapa? Tentu tidak semua pelaku tindak pidana kaya atau memiliki aset sedemikian banyak sehingga aset tersebut jika dirampas dapat menutupi denda. Cukup banyak dan mungkin mayoritas terpidana justru tidak memiliki aset yang cukup banyak untuk dirampas, bahkan untuk pelaku tindak pidana korupsi pun. Nah, dalam hal aset yang dirampas tidak juga menutupi kewajiban denda tentu harus ada solusi lain untuk menggantikannya. Satu-satunya cara tentu dengan kurungan pengganti. Usulan agar denda yang tidak dibayarkan terpidana diganti dengan perampasan aset adalah usulan yang bias, yang menanggap semua pelaku kejahatan adalah orang kaya.
Kerja sosial sebagai pengganti denda? Bisa saja. Tapi bagaimana jika terpidana tidak mau atau tidak sanggup? Untuk memaksa terpidana mau menjalankan kerja sosial tersebut tentu harus ada ancaman yang lebih berat dari itu. apakah itu? Ya Perampasan kemerdekaan (baca: kurungan pengganti).
Mau cari alternatif lain? Ya bisa saja. Tapi dibanding ruwet sendiri sebaiknya kita kembali ke filosofi denda lagi, yaitu sebagai pendera. Bukan untuk mengganti kerugian, memperkaya negara atau memiskinkan pelaku.
Nah, lalu bagaimana mengganti kerugian yang ditimbulkan pelaku? Bukankah suatu kejahatan, katakanlah korupsi, pasti merugikan korban atau negara? Betul. Yang perlu diingat hukum pidana bukan instrumen untuk memulihkan kerugian bagi korban, hukum pidana bertujuan untuk menjaga sosial order. Untuk memulihkan kerugian telah disediakan mekanisme hukum lainnya, yaitu hukum perdata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar