Desakan serupa juga datang dari jutaan masyarakat dan keluarga korban yang geram atas peristiwa berdarah tersebut. Mereka sampaikan rasa kesalnya melalui berbagai media masa, baik lokal maupun nasional. Termasuk aksi tabur bunga di lokasi kejadian secara spontan yang dilakukan ratusan orang pada Selasa (24/1).
Seperti halnya komunitas facbook, sebagian besar masyarakat yang geram itu berharap hukum di negeri ini memberi rasa keadilan bagi keluarga korban. Ancaman pidana yang diterapkan polisi atas peristiwa itu, yakni pasal 310 ayat (1, 2, 3 dan 4 ) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dianggap belum cukup adil.
Sebab, bayangan mereka, sembilan nyawa melayang sia-sia dan emat orang luka-luka serius—satu di antaranya mengalami kerusakan pada organ limpa—pelakunya hanya mendapat ancaman hukuman penjara enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 12 juta. Sesuai sanksi hukum di pasal tersebut.
Itu artinya, menurut persepsi mereka, meski Afriyani Susanti telah menewaskan banyak manusia, tapi ancaman hukuman badan atas kesalahan yang dilakukan bisa diganti dengan membayar denda. Untuk selanjutnya, tak perlu menjalani masa tahanan selama enam tahun, sebagaimana ancaman hukumannya.
Jika benar begitu, UU tersebut dirasakan tidak memihak kepada korban. Justru akan menimbulkan preseden buruk bagi tatanan hukum di negeri ini, khususnya terhadap peristiwa serupa.
Tapi, agaknya, memang sudah menjadi preseden. Para pengemudi kendaraan, terutama sopir bus angkutan umum, tak lagi takut dengan acaman enam tahun penjara, sepanjang kurungan badan tersebut dapat dikonpensasikan dengan uang. Akibatnya, mereka menjadi raja jalanan, ugal-ugalan tanpa peduli keselematan pejalan kaki atau pengguna jalan raya lainnya. Toh, jika menabrak orang hingga tewas, tak mesti masuk bui. Cukup bayar denda, dan bebas dari ancaman sanksi hukum.
Tak Dibenarkan
Padahal, tindakan membabibuta di jalan raya, terlebih merenggut nyawa manusia, siapapun pelakunya tak bisa dibenarkan. Apalagi korbannya lebih dari satu, atau yang kerap terjadi pada angkutan umum seperti bus, menewaskan hingga belasan penumpang. Namun, dari satu peristiwa ke insiden maut lainnya, belum pernah ‘si jagal’ jalan raya diganjar hukuman belasan tahun hingga seumur hidup. Terlebih lagi vonis mati. Umumnya divonis hakim dengan hukuman percobaan atau denda, sekalipun ada ancaman enam tahun penjara.
Ini yang menjadi persoalan. Sebab, seluruh pasal di UU No. 22 Tahun 2009, pengganti UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, tidak termaktub di dalamnya ancaman penjara nominal belasan tahun, seumur hidup atau mati. Ketentuan hukum pada perundangan tersebut bersifat pelanggaran ringan, atau lebih dikenal sebagai Tipiring (tindak pidana ringan), yakni yang terkait dengan urusan marka jalan, serta kelalaian ketika mengemudikan kendaraan.
Melihat kenyataan tersebut, tuntutan dan harapan komunitas facebook, masyarakat luas, dan keluarga korban percuma saja. Sia-sia. Tak ada pasal di perundangan itu sebagaimana yang mereka inginkan. Polisi pun tak mungkin mengakumulasi perundangan lain, jika peristiwa maut terjadi hanya kelalaian pengemudi. Kecuali ada hal lain, yaitu ketika mengemudi dipengaruhi suatu keadaan yang berkibat konsentrasi mengemudi di jalan terganggu.
Misalnya, kasus kecelakan maut di Tugu Tani. Afriyani Susanti selaku pengendara Daihatsu Xenia B 2749 XI memang dapat dihukum berat, tapi bukan karena kelalaiannya mengemudi hingga menewaskan banyak manusia, melainkan penggunaan Narkotika jenis ekstasi. Sementara ‘pembunuhan’ terhadap Sembilan orang, dan melukai empat pejalan kaki, ancamannya tak lebih dari enam tahun.
Yurisprudensi
Sebagai pelanggar UU No.22 Tahun 2009, Afriyani Susanti tak bisa dihukum hingga belasan tahun, apalagi seumur hidup. Karena yang dlanggar adalah perundangan Tipiring, yang tak mengenal jumlah hukuman sebanyak itu. Kecuali jika ada yurisprudensi putusan hakim yang menggebrak ancaman enam tahun menjadi belasan tahun atau seumur hidup atas kelalaian mengemudi.
Memang pernah ada hakim yang geram, memvonis pengemudi bus maut hingga belasan tahun penjara beberapa waktu lalu di salah satu pengadilan negeri Jawa Timur. Selebihnya di bawah enam tahun, bahkan tak sedikit ‘si jagal’ jalanan itu bebas dari tuntutan hukum setelah menyantuni keluarga korban. Perkaranya pun selesai diproses penyidikan polisi, tak sampai ke pengadilan.
Untuk kasus Afriyani Susanti, apakah akan diproses hukum dengan menggunakan putusan yurisprudensi tersebut? Bisa ya, bisa juga tidak. Tergantung hakim yang mengadli tragedi Minggu berdarah di Tugu Tani. Tapi, kecil kemungkinannya. Mengingat ada kasus lain yang bakal menjerat perempuan bertubuh gempal tersebut, yakni UU Narkotika.
Jadi, menyingkapi maraknya ‘pembunuhan’ di jalan raya lantaran pengemudinya lalai, hanya ada satu kata, yakni Undang-undang UU No.22 Tahun 2009 harus direvisi kembali, karena sudah tak sesuai lagi dengan perkembangan pengguna jalan saat ini. Sebagaimana ketika Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 belum direvisi menjadi perundangan yang sekarang ini diberlakukan. Pemerintah dan DPR harus mengkaji kembali, terutama menyangkut masalah sanksi hukuman bagi ‘si jagal’ maut jalan raya.
Banyak pihak, terutama keluarga korban yang tewas dan menderita luka permanen di Tugu Tani, menilai pasal di UU No.22 Tahun 2009 tak mencerminkan rasa keadilan mereka. Terlebih lagi peristiwanya bukan lantaran kendaraan tak layak jalan, tapi karena diduga Afriyani Susanti pada saat pengemudi dipengaruhi Narkoba, sehingga kurang konsentrasi. Tak ada pasal untuk pelanggaran seperti itu di UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Itu sebabnya, sangat diperlukan pasal baru, atau ketentuan lain atas penyebab kelalaian mengemudi sehingga terjadi kecelakaan yang merugikan pihak lain, baik dalam bentuk kerusakan harta benda, luka-luka dan kematian. Ancaman untuk itu harus tinggi, tanpa diembel-embeli kopensasi denda yang dapat menyinggung rasa keadilan masyarakat, khususnya keluarga korban.