Economics, over the years, has become more and more abstract and divorced from events in the real world. Economists, by and large, do not study the workings of the actual economic system. They theorize about it. As Ely Devons, and English economist, once said at meeting, ‘If economists wished to study the horse, they wouldn’t go an look at horses. They’d sit in their studies and say to themselves, “What would I do if I were a horse?”(RONALD H. COASE, The Task of the Society).
Ungkapan filosofis seperti di atas kerap diucapkan oleh para ekonom yang berhasil memenangi hadiah prestisius Nobel Prize dalam ilmu ekonomi ketika menghadiri upacara ‘coronation’ di altar kerajaan Swedia. Seperti halnya Amartya K. Sen yang mengatakan bahwa pada prinsipnya the ultimate goal of development is freedom for people (tujuan utama dari pembangunan adalah pembebasan bagi umat manusia). Demikian pula ekonom-ekonom papan atas lainnya seperti John F.Nash (seperti yang difilmkan dalam A Beautiful Mind ) dan Joseph E. Stiglitz pun pada akhirnya mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang sifatnya filosofis ketika mereka berpidato di hadapan para ilmuwan dan para anggota kerajaan Swedia ketika memenangi Nobel Ekonomi
Meminjam terminologi keagamaan, para ekonom papan atas itu akhirnya mencapai tahapan seperti apa yang disebut ma’rifat dalam keyakinan umat Islam, yakni tahapan tertinggi pengenalan akan eksistensi Tuhan. Sebelum mencapai tataran filosofis akan hakikat manusia dan kemanusiaan tersebut, tentunya para ekonom tersebut baik dalam perjalanan karir akademis maupun kedudukannya sebagai perumus kebijakan bergelut dengan rumitnya teori-teori ekonomi yang sarat dengan pendekatan matematis tingkat tinggi yang kerap sangat sulit dipahami dan dimengerti oleh orang-orang awam (layman ).
Seperti yang disebutkan dalam ungkapan ekonom Ronald Coase yang juga merupakan pemenang Nobel ilmu ekonomi pada tahun 1991 di atas, pada perkembangannya ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial menjadi semakin abstrak dan terpisah dari dunia nyata. Selalu dipadati dengan asumsi-asumsi, hingga timbul suatu anekdot dimana ketika para ekonom ingin mempelajari apa dan bagaimana hewan yang namanya kuda, mereka tak akan melihat kuda secara langsung, akan tetapi mereka akan saling bergumun di antara mereka dengan dipenuhi asumsi-asumsi seperti ‘apa yang akan saya lakukan jikalau saya adalah seekor kuda’. Ilmu ekonomi layaknya seperti ilmu pengetahuan alam, medan pengamatannya yakni fenomena alam. Hanya bedanya ilmu ekonomi melihat fenomena perilaku manusia. Sebagai ilmu sosial, salah satu bagian dari objek ilmu ekonomi adalah perilaku manusia dalam berekonomi. Manusia adalah makhluk yang unik dengan segala kemampuan dan nuansa perilaku multidimensional hidupnya yang tidak bisa dicermati dari satu sisi saja.
Dalam terminologi ilmu ekonomi hal ini pun diakui dengan apa yang disebut sebagai bounded rationality , yakni dimana manusia sebagai economic agent boleh jadi tidak memiliki kekuatan cognitive untuk membuat keputusan akan perilaku optimum mereka dengan presisi yang tepat dan pasti. Oleh karenanya, manusia cenderung diasumsikan bertindak secara rasional dari perspektif teoritis, akan tetapi dalam praktiknya manusia kerap kali membuat keputusan yang justru bertumpu pada kaidah praktik umum nonteoritis yang diyakininya benar ( rules of thumb ). Oleh karenanya, perilaku manusia tidaklah mudah untuk dipastikan secara eksak.
Manusia Sebagai Objek Dari Pembangunan Berangkat dari pemahaman di atas, manusia sebagai objek dari pembangunan dan kebijakan-lebijakan ekonomi tentunya tak bisa hanya direduksi ke dalam angka-angka maupun sajian tabulasi statistik dan target pertumbuhan ekonomi semata. Sama seperti halnya dengan teknologi yang mendukung kehidupan manusia ke arah yang lebih baik dan kemakmuran, tak bisa hanya direduksi hanya kepada yang namanya mesin saja. Ada hal-hal yang bersifat implisit dan tak kasat mata ( tacit ) yang tak bisa begitu saja diabaikan dan hanya dianggap sebagai faktor residual ( error ) dalam model-model ekonometri sebagaimana halnya para ekonom yang selalu berasumsi other things are being equal (ceteris paribus) .
Justru dalam faktor-faktor ekonomi yang tak terkait langsung maupun non-ekonomi yang tercakup di dalam residual suatu model ekonomi tersebut terkandung sesuatu yang mestinya juga jadi pertimbangan dalam perumusan suatu kebijakan ekonomi. Alhasil, ilmu ekonomi tidaklah dapat berdiri sendiri tanpa melihat aspek-aspek kemanusiaan baik dari tinjauan sosiologi, antropologi, dan politik maupun ilmu-ilmu sosial lainnya.
Berkaca kepada apa yang telah dilakukan oleh Muhammad Yunus seorang ekonom dari Bangladesh yang justru menjadi pemenang Nobel Perdamaian 2006, ternyata untuk melakukan suatu perubahan yang fundamental tak perlu teori-teori yang rumit yang acap kali hanya berakhir di mimbar akademis. Sepulangnya dari Amerika setelah menyelesaikan PhD dalam ilmu ekonomi dari Vanderbilt University di AS pada decade 70-an, Yunus menemui kenyataan bahwa rakyat Bangladesh begitu dahsyat didera oleh kemiskinan. Bangladesh memang merupakan negara yang selalu mengalami bencana (debacle ) karena sering diterjang banjir ketika moonson tiba. Yunus dengan modal US$ 27 di kantongnya memulai suatu langkah yang fundamental dengan meminjamkan dana kepada para pengemis dan kalangan miskin yang termajinalkan melalui Grameen Bank Ide ini tentunya sangat aneh jika dilihat dari kacamata para bankir konservatif yang selalu mentahbiskan collateral sebagai sesuatu yang mutlak sebagai agunan pinjaman.
Seiring dengan berjalannya waktu, ide Yunus yang paradigmatik ini ternyata workable .Nasabah Grameen Bank yang didominasi oleh kaum hawa umumnya memiliki tingkat kepatuhan ( compliance ) yang tinggi. Terbukti bahwa tingkat pengembalian kredit di Grameen Bank cukup tinggi mencapai kisaran di atas 90%. Suatu hal yang masih merupakan ‘keajaiban’ di bank-bank konservatif kita yang kebanyakan kreditnya dikemplang oleh para debitur super nakal yang notabene bukan orang miskin harta namun miskin nurani. Yunus juga berhasil menghidupkan modal sosial yakni terciptanya kohesi diantara sesama kelompok peminjam tersebut yakni dengan membangun control sosial dan kepercayaan diantara sesama anggota kelompok peminjam dana tersebut. Jika ada salah satu anggota yang kurang disiplin, anggota lainnya akan mengalami. sanksi moral yakni hilangnya kepercayaan.
Kontrol sosial ini ternyata lebih berhasil menjamin aspek kehati-hatian ( prudential ) dalam aktivitas perguliran dana kredit. Grameen Bank tersebut Kita dapat menarik hikmah dari apa yang telah dilakukan oleh Yunus tersebut, bahwa pendekatan ekonomi neo-classic yang selama ini banyak dianut dan diamini para ekonom dan pengambil kebijakan di negara kita rasa-rasanya belum menyentuh kalangan grass root bangsa kita.
Resep-resep kapitalis untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi seperti ekspansi investasi dengan mengundang para investor asing, stabilisasi nilai tukar, perdagangan bebas dan transparansi dalam intermediasi perbankan nampaknya juga belum begitu dirasakan oleh para kaum miskin yang termarjinalkan oleh arus globalisasi. Justru yang mengemuka belakangan ini adalah meningkatnya angka kemiskinan dari 16% menjadi 17,75%, pengangguran dari 10,4% menjadi 11,85% serta gizi buruk dari 1,8 juta orang menjadi 2,3 juta orang.
Di sinilah kita melihat kejelian Yunus yang justru melihat bahwa kaum miskin pun meminjam terminologi Hernando de Soto, memiliki elan untuk menstranformasikan capital ke dalam bentuk usaha-usaha produktif. Hal ini terbukti bahwa sektor-sektor ekonomi informal yang dijalankan oleh kalangan masyarakat bawah justru dapat bertahan dari hantaman krisis yang mendera sejak 1997 yang lalu. Oleh karenanya,
Fenomena seperti penertiban pedagang kaki lima yang kerap menimbulkan kerusuhan dan tindakan tak manusiawi dari satuan polisi pamong praja sudah semestinya tidak terjadi lagi. Pemerintah sudah seharusnya bisa memfasilitasi mereka dengan memberikan kemudahan dan akses untuk berusaha.
Dalam hal ini ada baiknya pemerintah sesegera mungkin membantu para pegiat ekonomi lemah dan kaum miskin ini dengan memberikan kemudahan-kemudahan seperti dalam aspek hukum ( legal )dan jaminan akan property rights seperti yang dianjurkan oleh Hernando de Soto (2000) dalam bukunya yang legendaris “The Mystery of Capital” .
Tentunya langkah ini janganlah dijadikan sebagai lahan rent-seeking baru seperti yang lazimnya masih diidap oleh entitas birokrasi di negara kita. Karena pada dasarnya mereka yang selama ini seringkali diabaikan dari kacamata ekonomi liberal justru memiliki potensi untuk merubah capital sekecil apa pun menjadi sesuatu yang lebih produktif. Sudah saatnya kita memikirkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang lebih pro-rakyat dan memanusiakan manusia serta membumi. Dimuat pada Kolom Opini pada Harian Media Indonesia tanggal 6 November 2006
(Ini versi asli sebelum diedit oleh Redaksi Media Indonesia).
Teddy Lesmana
Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Alumnus The Australian National University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar