Ilmu ekonomi mikro (sering juga ditulis mikroekonomi) adalah cabang dari ilmu ekonomiyang mempelajari perilaku konsumen dan perusahaan serta penentuan harga-harga pasar dan kuantitas faktor input, barang, dan jasa yang diperjualbelikan. Ekonomi mikro meneliti bagaimana berbagai keputusan dan perilaku tersebut mempengaruhi penawaran dan permintaan atas barang dan jasa, yang akan menentukan harga; dan bagaimana harga, pada gilirannya, menentukan penawaran dan permintaan barang dan jasa selanjutnya. Individu yang melakukan kombinasi konsumsi atau produksi secara optimal, bersama-sama individu lainnya di pasar, akan membentuk suatu keseimbangan dalam skala makro dengan asumsi bahwa semua hal lain tetap sama (ceteris paribus).
Kebalikan dari ekonomi mikro ialah ekonomi mikro, yang membahas aktivitas ekonomi secara keseluruhan, terutama mengenai pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran, berbagai kebijakan perekonomian yang berhubungan serta dampak atas beragam tindakan pemerintah.
Salah satu tujuan ekonomi mikro adalah menganalisa pasar beserta mekanismenya yang membentuk harga relatif kepada produk dan jasa, dan alokasi dari sumber terbatas diantara banyak penggunaan alternatif. Ekonomi mikro menganalisa kegagalan pasar, yaitu ketika pasar gagal dalam memproduksi hasil yang efisien; serta menjelaskan berbagai kondisi teoritis yang dibutuhkan bagi suatu pasar persaingan sempurna. Bidang-bidang penelitian yang penting dalam ekonomi mikro, meliputi pembahasan mengenai keseimbangan umum (general equilibrium), keadaan pasar dalam informasi simietris, pilihan dalamsituasi ketidakpastian, serta berbagai aplikasi ekonomi dari teori permainan. Juga mendapat perhatian ialah pembahasan mengenai estalisitas produk dalam sistem pasar.
Teori penawaran dan permintaan biasanya mengasumsikan bahwa pasar merupakanpasar persaingan sempurna. Implikasinya ialah terdapat banyak pembeli dan penjual di dalam pasar, dan tidak satupun diantara mereka memiliki kapasitas untuk mempengaruhi harga barang dan jasa secara signifikan. Dalam berbagai transaksi di kehidupan nyata, asumsi ini ternyata gagal, karena beberapa individu (baik pembeli maupun penjual) memiliki kemampuan untuk mempengaruhi harga. Seringkali, dibutuhkan analisa yang lebih mendalam untuk memahami persamaan penawaran-permintaan terhadap suatu barang. Bagaimanapun, teori ini bekerja dengan baik dalam situasi yang sederhana.
Ekonomi arus utama(mainstream economics) tidak berasumsi apriori bahwa pasar lebih disukai daripada bentuk organisasi sosial lainnya. Bahkan, banyak analisa telah dilakukan untuk membahas beragam kasus yang disebut “kegagalan pasar”, yang mengarah pada alokasi sumber daya yang suboptimal, bila ditinjau dari sudut pandang tertentu (contoh sederhananya ialah jalan tol, yang menguntungkan semua orang untuk digunakan tetapi tidak langsung menguntungkan mereka untuk membiayainya). Dalam kasus ini, ekonom akan berusaha untuk mencari kebijakan yang akan menghindari kesia-siaan langsung di bawah kendali pemerintah, secara tidak langsung oleh regulasi yang membuat pengguna pasar untuk bertindak sesuai norma konsisten dengan kesejahteraan optimal, atau dengan membuat “pasar yang hilang” untuk memungkinkan perdagangan efisien dimana tidak ada yang pernah terjadi sebelumnya. Hal ini dipelajari di bidang tndakan kolektif. Harus dicatat juga bahwa “kesejahteraan optimal” biasanya memakai norma Pareto, dimana dalam aplikasi matematisnya efisiensi Haldor Hick, tidak konsisten dnegan norma utilitarian dalam sisi normatif dari ekonomi yang mempelajari tindakan kolektif, disebut pilihan masyarakat/publik. Kegagalan pasar dalam ekonomi positif (ekonomi mikro) dibatasi dalam implikasi tanpa mencampurkan kepercayaan para ekonom dan teorinya.
Permintaan untuk berbagai komoditas oleh perorangan biasanya disebut sebagai hasil dari proses maksimalisasi kepuasan. Penafsiran dari hubungan antara harga dan kuantitas yang diminta dari barang yang diberi, memberi semua barang dan jasa yang lain, pilihan pengaturan seperti inilah yang akan memberikan kebahagiaan tertinggi bagi para konsumen.
Model operasi
Diasumsikan bahwa semua perusahaan mengikuti pembuatan keputusan rasional, dan akan memproduksi pada keluaran maksimalisasi keuntungan. Dalam asumsi ini, ada empat kategori dimana keuntungan perusahaan akan dipertimbangkan:
Sebuah perusahaan dikatakan membuat sebuah keunggulan ekonomiketika average total cost lebih rendah dari setiap produk tambahan pada keluaran maksimalisasi keuntungan. Keuntungan ekonomi adalah setara dengan kuantitas keluaran dikali dengan perbedaan antara average total cost dan harga.
Sebuah perusahaan dikatakan membuat sebuah keunggulan normal ketika keuntungan ekonominya sama dengan nol. Keadaan ini terjadi ketika average total cost setara dengan harga pada keluaran maksimalisasi keuntungan.
Jika harga adalah di antara average total cost dan average variable cost pada keluaran maksimalisasi keuntungan, maka perusahaan tersebut dalam kondisi kerugian minimal. Perusahaan ini harusnya masih meneruskan produksi, karena kerugiannya akan makin membesar jika berhenti produksi. Dengan produksi terus menerus, perusahaan bisa menaikkan biaya variabel dan akhirnya biaya tetap, tetapi dengan menghentikan semuanya akan mengakibatkan kehilangan semuabiaya tetap nya.
Jika harga dibawah average variable cost pada maksimalisasi keuntungan, perusahaan harus melakukan penghentian. Kerugian diminimalisir dengan tidak memproduksi sama sekali, karena produksi tidak akan menghasilkan keuntungan yang cukup signifikan untuk membiayai semua biaya tetap dan bagian dari biaya variabel. Dengan tidak berproduksi, kerugian perusahaan hanya pada biaya tetap. Dengan kehilangan biaya tetapnya, perusahaan menemui tantangan. Akan keluar dari pasar seutuhnya atau tetap bersaing dengan risiko kerugian menyeluruh.
Biaya peluang
Walaupun biaya peluang (opportunity cost) terkadang sulit untuk dihitung, efek dari biaya peluang sangatlah universal dan nyata pada tingkat perorangan. Bahkan, prinsip ini dapat diaplikasikan kepada semua keputusan, dan bukan hanya bidang ekonomi. Sejak kemunculannya dalam karya seorang ekonom Jerman bernama Freidick, sekarang biaya peluang dilihat sebagai dasar dari teori nilai marginal.
Biaya peluang merupakan salah satu cara untuk melakukan perhitungan dari sesuatu biaya. Bukan saja untuk mengenali dan menambahkan biaya ke proyek, tetapi juga mengenali cara alternatif lainnya untuk menghabiskan suatu jumlah uang yang sama. Keuntungan yang akan hilang sebagai akibat dari alternatif terbaik lainnya; adalah merupakan biaya peluang dari pilihan pertama. Sebuah contoh umum adalah seorang petani yang memilih mengolah pertaniannya dibandingkan dengan menyewakannya ke tetangga. Maka, biaya peluangnya adalah keuntungan yang hilang dari menyewakan lahan tersebut. Dalam kasus ini, sang petani mungkin mengharapkan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pekerjaan yang dilakukannya sendiri. Begitu juga dengan memasuki universitas dan mengabaikan upah yang akan diterima jika memilih menjadi pekerja, yang dibanding dengan biaya pendidikan, buku, dan barang lain yang diperlukan (sebagai biaya total dari kehadirannya di universitas). Contoh lainnya ialah biaya peluang dari melancong ke Bahamas, yang mungkin merupakan uang untuk pembayaran cicilan rumah.
Perlu diingat bahwa biaya peluang bukanlah jumlah dari alternatif yang ada, melainkan lebih kepada keuntungan dari suatu pilihan alternatif yang terbaik. Biaya peluang yang mungkin dari keputusan sebuah kota membangun rumah sakit di lahan kosong, merupakan kerugian dari lahan untuk gelanggang olahraga, atau ketidakmampuan untuk menggunakan lahan menjadi sebuah tempat parkir, atau uang yang bisa didapat dari menjual lahan tersebut, atau kerugian dari penggunaan-pengguaan lainnya yang beragam – tapi bukan merupakan agregat dari semuanya (ditotalkan). Biaya peluang yang sebenarnya, merupakan keuntungan yang akan hilang dalam jumlah terbesar diantara alternatif-alternatif yang telah disebutkan tadi.
Satu pertanyaan yang muncul dari ini ialah bagaimana menghitung keuntungan dari alternatif yang tidak sama. Kita harus menentukan sebuah nilai uang yang dihubungkan dengan tiap alternatif untuk memfasilitasi pembandingan dan penghitungan biaya peluang, yang hasilnya lebih-kurang akan menyulitkan untuk dihitung, tergantung dari benda yang akan kita bandingkan. Contohnya, untuk keputusan-keputusan yang melibatkan dampak lingkungan, nilai uangnya sangat sulit untuk dihitung karena ketidakpastian ilmiah. Menilai kehidupan seorang manusia atau dampak ekonomi dari tumpahnya minyak di Alaska, akan melibatkan banyak pilihan subyektif dengan implikasi etisnya.
Penerapan ekonomi mikro
Ekonomi mikro yang diterapkan termasuk area besar belajar, banyak diantaranya menggambarkan metode dari yang lainnya. Regulasi dan organisasi industri mempelajari topik seperti masuk dan keluar dari firma, inovasi, aturan merek dagang. Hukum dan Ekonomi menerapkan prinsip ekonomi mikro ke pemilihan dan penguatan dari berkompetisi dengan rezim legal dan efisiensi relatifnya. Ekonomi Perburuhan mempelajari upah, kepegawaian, dan dinamika pasar buruh. Finansial publik (juga dikenal dengan ekonomi publik) mempelajari rancangan dari pajak pemerintah dan kebijakan pengeluaran dan efek ekonomi dari kebijakan-kebijakan tersebut (contohnya, program asuransi sosial). Ekonomi kesehatan mempelajari organisasi dari sistem kesehatan, termasuk peran dari pegawai kesehatan dan program asuransi kesehatan. Politik ekonomi mempelajari peran dari institusi politik dalam menentukan keluarnya sebuah kebijakan. Ekonomi kependudukan, yang mempelajari tantangan yang dihadapi oleh kota-kota, seperti gepeng, polusi air dan udara, kemacetan lalu-lintas, dan kemiskinan, digambarkan dalam geografi kependudukan dan sosiologi. Finansial Ekonomi mempelajari topik seperti struktur dari portofolio yang optimal, rasio dari pengembalian ke modal, analisa ekonometri dari keamanan pengembalian, dan kebiasaan finansial korporat. Bidang Sejarah ekonomi mempelajari evolusi dari ekonomi dan institusi ekonomi, menggunakan metode dan teknik dari bidang ekonomi, sejarah, geografi, sosiologi, psikologi dan ilmu politik.
Kegagalan pasar
Dalam ekonomi mikro, istilah “kegagalan pasar” tidak berarti bahwa sebuah pasar tidak lagi berfungsi. Malahan, sebuah kegagalan pasar adalah situasi dimana sebuah pasar efisien dalam mengatur produksi atau alokasi barang dan jasa ke konsumen. Ekonom normalnya memakai istilah ini pada situasi dimana inefisiensi sudah dramatis, atau ketika disugestikan bahwa institusi non pasar akan memberi hasil yang diinginkan. Di sisi lain, pada konteks politik, pemegang modal atau saham menggunakan istilah kegagalan pasar untuk situasi saat pasar dipaksa untuk tidak melayani “Kepentingan Publik”, sebuah pernyataan subyektif yang biasanya dibuat dari landasan moral atau sosial.
Empat jenis utama penyebab kegagalan pasar adalah :
Monopoli atau dalam kasus lain dari penyalahgunaan dari kekuasaan pasar dimana “sebuah” pembeli atau penjual bisa memberi pengaruh signifikan pada harga atau keluaran. Penyalahgunaan kekuasaan pasar bisa dikurangi dengan menggunakan undang-undang anti-trust.
Eksternalitas, dimana terjadi dalam kasus dimana “pasar tidak dibawa kedalam akun dari akibat aktivitas ekonomi didalam orang luar/asing.” Ada eksternalitas positif dan eksternalitas negative. Eksternalitas positif terjadi dalam kasus seperti dimana program kesehatan keluarga di televisi meningkatkan kesehatan publik. Eksternalitas negatif terjadi ketika proses dalam perusahaan menimbulkan polusi udara atau saluran air. Eksternalitas negatif bisa dikurangi dengan regulasi dari pemerintah, pajak, atau subsidi, atau dengan menggunakan hak properti untuk memaksa perusahaan atau perorangan untuk menerima akibat dari usaha ekonomi mereka pada taraf yang seharusnya.
Barang Publik seperti pertahanan nasional dan kegiatan dalam kesehatan public seperti pembasmian sarang nyamuk. Contohnya, jika membasmi sarang nyamuk diserahkan pada pasar pribadi, maka jauh lebih sedikit sarang yang mungkin akan dibasmi. Untuk menyediakan penawaran yang baik dari barang publik, negara biasanya menggunakan pajak-pajak yang mengharuskan semua penduduk untuk membayar pda barang publik tersebut (berkaitan dengan pengetahuan kurang dari eksternalitas positif pada pihak ketiga/kesejahteraan sosial).
Kasus dimana terdapat informasi simetris atau ketidak pastian (informasi yang inefisien). Informasi asimetris terjadi ketika salah satu pihak dari transaksi memiliki informasi yang lebih banyak dan baik dari pihak yang lain. Biasanya para penjua yang lebih tahu tentang produk tersebut daripada sang pembeli, tapi ini tidak selalu terjadi dalam kasus ini. Contohnya, para pelaku bisnis mobil bekas mungkin mengetahui dimana mbil tersebut telah digunakan sebagai mobil pengantar atau taksi, informasi yang tidak tersedia bagi pembeli. Contoh dimana pembeli memiliki informasi lebih baik dari penjual merupaka penjualan rumah atau vila, yang mensyaratkan kesaksian penghuni sebelumnya. Seorang broker real estate membeli rumah ini mungkin memiliki informasi lebih tentang rumah tersebut dibandingkan anggota keluarga yang ditinggalkan. Situasi ini dijelaskan pertamakali oleh Kenneth J. Arrow di artikel seminar tentang kesehatan tahun 1963 berjudul “ketidakpastian dan Kesejahteraan Ekonomi dari Kepedulian Kesehatan,” di dalam American Economic Review. George akeloft kemudian menggunakan istilah informasi asimetris pada karyanya ditahun 1970 The market of demons. Akerlof menyadari bahwa , dalam pasar seperti itu, nilai rata-rata dari komoditas cenderung menurun, bahkan untuk kualitas yang sangat sempurna kebaikannya, karena para pembelinya tidak memiliki cara untuk mengetahui apakah produk yang mereka beli akan menjadi sebuah “lemon” (produk yang menyesatkan).
logo
Senin, 11 April 2011
Kebijakan Ekonomi Yang Membumi (Down to Earth Economic Policy).
Economics, over the years, has become more and more abstract and divorced from events in the real world. Economists, by and large, do not study the workings of the actual economic system. They theorize about it. As Ely Devons, and English economist, once said at meeting, ‘If economists wished to study the horse, they wouldn’t go an look at horses. They’d sit in their studies and say to themselves, “What would I do if I were a horse?”(RONALD H. COASE, The Task of the Society).
Ungkapan filosofis seperti di atas kerap diucapkan oleh para ekonom yang berhasil memenangi hadiah prestisius Nobel Prize dalam ilmu ekonomi ketika menghadiri upacara ‘coronation’ di altar kerajaan Swedia. Seperti halnya Amartya K. Sen yang mengatakan bahwa pada prinsipnya the ultimate goal of development is freedom for people (tujuan utama dari pembangunan adalah pembebasan bagi umat manusia). Demikian pula ekonom-ekonom papan atas lainnya seperti John F.Nash (seperti yang difilmkan dalam A Beautiful Mind ) dan Joseph E. Stiglitz pun pada akhirnya mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang sifatnya filosofis ketika mereka berpidato di hadapan para ilmuwan dan para anggota kerajaan Swedia ketika memenangi Nobel Ekonomi
Meminjam terminologi keagamaan, para ekonom papan atas itu akhirnya mencapai tahapan seperti apa yang disebut ma’rifat dalam keyakinan umat Islam, yakni tahapan tertinggi pengenalan akan eksistensi Tuhan. Sebelum mencapai tataran filosofis akan hakikat manusia dan kemanusiaan tersebut, tentunya para ekonom tersebut baik dalam perjalanan karir akademis maupun kedudukannya sebagai perumus kebijakan bergelut dengan rumitnya teori-teori ekonomi yang sarat dengan pendekatan matematis tingkat tinggi yang kerap sangat sulit dipahami dan dimengerti oleh orang-orang awam (layman ).
Seperti yang disebutkan dalam ungkapan ekonom Ronald Coase yang juga merupakan pemenang Nobel ilmu ekonomi pada tahun 1991 di atas, pada perkembangannya ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial menjadi semakin abstrak dan terpisah dari dunia nyata. Selalu dipadati dengan asumsi-asumsi, hingga timbul suatu anekdot dimana ketika para ekonom ingin mempelajari apa dan bagaimana hewan yang namanya kuda, mereka tak akan melihat kuda secara langsung, akan tetapi mereka akan saling bergumun di antara mereka dengan dipenuhi asumsi-asumsi seperti ‘apa yang akan saya lakukan jikalau saya adalah seekor kuda’. Ilmu ekonomi layaknya seperti ilmu pengetahuan alam, medan pengamatannya yakni fenomena alam. Hanya bedanya ilmu ekonomi melihat fenomena perilaku manusia. Sebagai ilmu sosial, salah satu bagian dari objek ilmu ekonomi adalah perilaku manusia dalam berekonomi. Manusia adalah makhluk yang unik dengan segala kemampuan dan nuansa perilaku multidimensional hidupnya yang tidak bisa dicermati dari satu sisi saja.
Dalam terminologi ilmu ekonomi hal ini pun diakui dengan apa yang disebut sebagai bounded rationality , yakni dimana manusia sebagai economic agent boleh jadi tidak memiliki kekuatan cognitive untuk membuat keputusan akan perilaku optimum mereka dengan presisi yang tepat dan pasti. Oleh karenanya, manusia cenderung diasumsikan bertindak secara rasional dari perspektif teoritis, akan tetapi dalam praktiknya manusia kerap kali membuat keputusan yang justru bertumpu pada kaidah praktik umum nonteoritis yang diyakininya benar ( rules of thumb ). Oleh karenanya, perilaku manusia tidaklah mudah untuk dipastikan secara eksak.
Manusia Sebagai Objek Dari Pembangunan Berangkat dari pemahaman di atas, manusia sebagai objek dari pembangunan dan kebijakan-lebijakan ekonomi tentunya tak bisa hanya direduksi ke dalam angka-angka maupun sajian tabulasi statistik dan target pertumbuhan ekonomi semata. Sama seperti halnya dengan teknologi yang mendukung kehidupan manusia ke arah yang lebih baik dan kemakmuran, tak bisa hanya direduksi hanya kepada yang namanya mesin saja. Ada hal-hal yang bersifat implisit dan tak kasat mata ( tacit ) yang tak bisa begitu saja diabaikan dan hanya dianggap sebagai faktor residual ( error ) dalam model-model ekonometri sebagaimana halnya para ekonom yang selalu berasumsi other things are being equal (ceteris paribus) .
Justru dalam faktor-faktor ekonomi yang tak terkait langsung maupun non-ekonomi yang tercakup di dalam residual suatu model ekonomi tersebut terkandung sesuatu yang mestinya juga jadi pertimbangan dalam perumusan suatu kebijakan ekonomi. Alhasil, ilmu ekonomi tidaklah dapat berdiri sendiri tanpa melihat aspek-aspek kemanusiaan baik dari tinjauan sosiologi, antropologi, dan politik maupun ilmu-ilmu sosial lainnya.
Berkaca kepada apa yang telah dilakukan oleh Muhammad Yunus seorang ekonom dari Bangladesh yang justru menjadi pemenang Nobel Perdamaian 2006, ternyata untuk melakukan suatu perubahan yang fundamental tak perlu teori-teori yang rumit yang acap kali hanya berakhir di mimbar akademis. Sepulangnya dari Amerika setelah menyelesaikan PhD dalam ilmu ekonomi dari Vanderbilt University di AS pada decade 70-an, Yunus menemui kenyataan bahwa rakyat Bangladesh begitu dahsyat didera oleh kemiskinan. Bangladesh memang merupakan negara yang selalu mengalami bencana (debacle ) karena sering diterjang banjir ketika moonson tiba. Yunus dengan modal US$ 27 di kantongnya memulai suatu langkah yang fundamental dengan meminjamkan dana kepada para pengemis dan kalangan miskin yang termajinalkan melalui Grameen Bank Ide ini tentunya sangat aneh jika dilihat dari kacamata para bankir konservatif yang selalu mentahbiskan collateral sebagai sesuatu yang mutlak sebagai agunan pinjaman.
Seiring dengan berjalannya waktu, ide Yunus yang paradigmatik ini ternyata workable .Nasabah Grameen Bank yang didominasi oleh kaum hawa umumnya memiliki tingkat kepatuhan ( compliance ) yang tinggi. Terbukti bahwa tingkat pengembalian kredit di Grameen Bank cukup tinggi mencapai kisaran di atas 90%. Suatu hal yang masih merupakan ‘keajaiban’ di bank-bank konservatif kita yang kebanyakan kreditnya dikemplang oleh para debitur super nakal yang notabene bukan orang miskin harta namun miskin nurani. Yunus juga berhasil menghidupkan modal sosial yakni terciptanya kohesi diantara sesama kelompok peminjam tersebut yakni dengan membangun control sosial dan kepercayaan diantara sesama anggota kelompok peminjam dana tersebut. Jika ada salah satu anggota yang kurang disiplin, anggota lainnya akan mengalami. sanksi moral yakni hilangnya kepercayaan.
Kontrol sosial ini ternyata lebih berhasil menjamin aspek kehati-hatian ( prudential ) dalam aktivitas perguliran dana kredit. Grameen Bank tersebut Kita dapat menarik hikmah dari apa yang telah dilakukan oleh Yunus tersebut, bahwa pendekatan ekonomi neo-classic yang selama ini banyak dianut dan diamini para ekonom dan pengambil kebijakan di negara kita rasa-rasanya belum menyentuh kalangan grass root bangsa kita.
Resep-resep kapitalis untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi seperti ekspansi investasi dengan mengundang para investor asing, stabilisasi nilai tukar, perdagangan bebas dan transparansi dalam intermediasi perbankan nampaknya juga belum begitu dirasakan oleh para kaum miskin yang termarjinalkan oleh arus globalisasi. Justru yang mengemuka belakangan ini adalah meningkatnya angka kemiskinan dari 16% menjadi 17,75%, pengangguran dari 10,4% menjadi 11,85% serta gizi buruk dari 1,8 juta orang menjadi 2,3 juta orang.
Di sinilah kita melihat kejelian Yunus yang justru melihat bahwa kaum miskin pun meminjam terminologi Hernando de Soto, memiliki elan untuk menstranformasikan capital ke dalam bentuk usaha-usaha produktif. Hal ini terbukti bahwa sektor-sektor ekonomi informal yang dijalankan oleh kalangan masyarakat bawah justru dapat bertahan dari hantaman krisis yang mendera sejak 1997 yang lalu. Oleh karenanya,
Fenomena seperti penertiban pedagang kaki lima yang kerap menimbulkan kerusuhan dan tindakan tak manusiawi dari satuan polisi pamong praja sudah semestinya tidak terjadi lagi. Pemerintah sudah seharusnya bisa memfasilitasi mereka dengan memberikan kemudahan dan akses untuk berusaha.
Dalam hal ini ada baiknya pemerintah sesegera mungkin membantu para pegiat ekonomi lemah dan kaum miskin ini dengan memberikan kemudahan-kemudahan seperti dalam aspek hukum ( legal )dan jaminan akan property rights seperti yang dianjurkan oleh Hernando de Soto (2000) dalam bukunya yang legendaris “The Mystery of Capital” .
Tentunya langkah ini janganlah dijadikan sebagai lahan rent-seeking baru seperti yang lazimnya masih diidap oleh entitas birokrasi di negara kita. Karena pada dasarnya mereka yang selama ini seringkali diabaikan dari kacamata ekonomi liberal justru memiliki potensi untuk merubah capital sekecil apa pun menjadi sesuatu yang lebih produktif. Sudah saatnya kita memikirkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang lebih pro-rakyat dan memanusiakan manusia serta membumi. Dimuat pada Kolom Opini pada Harian Media Indonesia tanggal 6 November 2006
(Ini versi asli sebelum diedit oleh Redaksi Media Indonesia).
Teddy Lesmana
Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Alumnus The Australian National University
Ungkapan filosofis seperti di atas kerap diucapkan oleh para ekonom yang berhasil memenangi hadiah prestisius Nobel Prize dalam ilmu ekonomi ketika menghadiri upacara ‘coronation’ di altar kerajaan Swedia. Seperti halnya Amartya K. Sen yang mengatakan bahwa pada prinsipnya the ultimate goal of development is freedom for people (tujuan utama dari pembangunan adalah pembebasan bagi umat manusia). Demikian pula ekonom-ekonom papan atas lainnya seperti John F.Nash (seperti yang difilmkan dalam A Beautiful Mind ) dan Joseph E. Stiglitz pun pada akhirnya mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang sifatnya filosofis ketika mereka berpidato di hadapan para ilmuwan dan para anggota kerajaan Swedia ketika memenangi Nobel Ekonomi
Meminjam terminologi keagamaan, para ekonom papan atas itu akhirnya mencapai tahapan seperti apa yang disebut ma’rifat dalam keyakinan umat Islam, yakni tahapan tertinggi pengenalan akan eksistensi Tuhan. Sebelum mencapai tataran filosofis akan hakikat manusia dan kemanusiaan tersebut, tentunya para ekonom tersebut baik dalam perjalanan karir akademis maupun kedudukannya sebagai perumus kebijakan bergelut dengan rumitnya teori-teori ekonomi yang sarat dengan pendekatan matematis tingkat tinggi yang kerap sangat sulit dipahami dan dimengerti oleh orang-orang awam (layman ).
Seperti yang disebutkan dalam ungkapan ekonom Ronald Coase yang juga merupakan pemenang Nobel ilmu ekonomi pada tahun 1991 di atas, pada perkembangannya ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial menjadi semakin abstrak dan terpisah dari dunia nyata. Selalu dipadati dengan asumsi-asumsi, hingga timbul suatu anekdot dimana ketika para ekonom ingin mempelajari apa dan bagaimana hewan yang namanya kuda, mereka tak akan melihat kuda secara langsung, akan tetapi mereka akan saling bergumun di antara mereka dengan dipenuhi asumsi-asumsi seperti ‘apa yang akan saya lakukan jikalau saya adalah seekor kuda’. Ilmu ekonomi layaknya seperti ilmu pengetahuan alam, medan pengamatannya yakni fenomena alam. Hanya bedanya ilmu ekonomi melihat fenomena perilaku manusia. Sebagai ilmu sosial, salah satu bagian dari objek ilmu ekonomi adalah perilaku manusia dalam berekonomi. Manusia adalah makhluk yang unik dengan segala kemampuan dan nuansa perilaku multidimensional hidupnya yang tidak bisa dicermati dari satu sisi saja.
Dalam terminologi ilmu ekonomi hal ini pun diakui dengan apa yang disebut sebagai bounded rationality , yakni dimana manusia sebagai economic agent boleh jadi tidak memiliki kekuatan cognitive untuk membuat keputusan akan perilaku optimum mereka dengan presisi yang tepat dan pasti. Oleh karenanya, manusia cenderung diasumsikan bertindak secara rasional dari perspektif teoritis, akan tetapi dalam praktiknya manusia kerap kali membuat keputusan yang justru bertumpu pada kaidah praktik umum nonteoritis yang diyakininya benar ( rules of thumb ). Oleh karenanya, perilaku manusia tidaklah mudah untuk dipastikan secara eksak.
Manusia Sebagai Objek Dari Pembangunan Berangkat dari pemahaman di atas, manusia sebagai objek dari pembangunan dan kebijakan-lebijakan ekonomi tentunya tak bisa hanya direduksi ke dalam angka-angka maupun sajian tabulasi statistik dan target pertumbuhan ekonomi semata. Sama seperti halnya dengan teknologi yang mendukung kehidupan manusia ke arah yang lebih baik dan kemakmuran, tak bisa hanya direduksi hanya kepada yang namanya mesin saja. Ada hal-hal yang bersifat implisit dan tak kasat mata ( tacit ) yang tak bisa begitu saja diabaikan dan hanya dianggap sebagai faktor residual ( error ) dalam model-model ekonometri sebagaimana halnya para ekonom yang selalu berasumsi other things are being equal (ceteris paribus) .
Justru dalam faktor-faktor ekonomi yang tak terkait langsung maupun non-ekonomi yang tercakup di dalam residual suatu model ekonomi tersebut terkandung sesuatu yang mestinya juga jadi pertimbangan dalam perumusan suatu kebijakan ekonomi. Alhasil, ilmu ekonomi tidaklah dapat berdiri sendiri tanpa melihat aspek-aspek kemanusiaan baik dari tinjauan sosiologi, antropologi, dan politik maupun ilmu-ilmu sosial lainnya.
Berkaca kepada apa yang telah dilakukan oleh Muhammad Yunus seorang ekonom dari Bangladesh yang justru menjadi pemenang Nobel Perdamaian 2006, ternyata untuk melakukan suatu perubahan yang fundamental tak perlu teori-teori yang rumit yang acap kali hanya berakhir di mimbar akademis. Sepulangnya dari Amerika setelah menyelesaikan PhD dalam ilmu ekonomi dari Vanderbilt University di AS pada decade 70-an, Yunus menemui kenyataan bahwa rakyat Bangladesh begitu dahsyat didera oleh kemiskinan. Bangladesh memang merupakan negara yang selalu mengalami bencana (debacle ) karena sering diterjang banjir ketika moonson tiba. Yunus dengan modal US$ 27 di kantongnya memulai suatu langkah yang fundamental dengan meminjamkan dana kepada para pengemis dan kalangan miskin yang termajinalkan melalui Grameen Bank Ide ini tentunya sangat aneh jika dilihat dari kacamata para bankir konservatif yang selalu mentahbiskan collateral sebagai sesuatu yang mutlak sebagai agunan pinjaman.
Seiring dengan berjalannya waktu, ide Yunus yang paradigmatik ini ternyata workable .Nasabah Grameen Bank yang didominasi oleh kaum hawa umumnya memiliki tingkat kepatuhan ( compliance ) yang tinggi. Terbukti bahwa tingkat pengembalian kredit di Grameen Bank cukup tinggi mencapai kisaran di atas 90%. Suatu hal yang masih merupakan ‘keajaiban’ di bank-bank konservatif kita yang kebanyakan kreditnya dikemplang oleh para debitur super nakal yang notabene bukan orang miskin harta namun miskin nurani. Yunus juga berhasil menghidupkan modal sosial yakni terciptanya kohesi diantara sesama kelompok peminjam tersebut yakni dengan membangun control sosial dan kepercayaan diantara sesama anggota kelompok peminjam dana tersebut. Jika ada salah satu anggota yang kurang disiplin, anggota lainnya akan mengalami. sanksi moral yakni hilangnya kepercayaan.
Kontrol sosial ini ternyata lebih berhasil menjamin aspek kehati-hatian ( prudential ) dalam aktivitas perguliran dana kredit. Grameen Bank tersebut Kita dapat menarik hikmah dari apa yang telah dilakukan oleh Yunus tersebut, bahwa pendekatan ekonomi neo-classic yang selama ini banyak dianut dan diamini para ekonom dan pengambil kebijakan di negara kita rasa-rasanya belum menyentuh kalangan grass root bangsa kita.
Resep-resep kapitalis untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi seperti ekspansi investasi dengan mengundang para investor asing, stabilisasi nilai tukar, perdagangan bebas dan transparansi dalam intermediasi perbankan nampaknya juga belum begitu dirasakan oleh para kaum miskin yang termarjinalkan oleh arus globalisasi. Justru yang mengemuka belakangan ini adalah meningkatnya angka kemiskinan dari 16% menjadi 17,75%, pengangguran dari 10,4% menjadi 11,85% serta gizi buruk dari 1,8 juta orang menjadi 2,3 juta orang.
Di sinilah kita melihat kejelian Yunus yang justru melihat bahwa kaum miskin pun meminjam terminologi Hernando de Soto, memiliki elan untuk menstranformasikan capital ke dalam bentuk usaha-usaha produktif. Hal ini terbukti bahwa sektor-sektor ekonomi informal yang dijalankan oleh kalangan masyarakat bawah justru dapat bertahan dari hantaman krisis yang mendera sejak 1997 yang lalu. Oleh karenanya,
Fenomena seperti penertiban pedagang kaki lima yang kerap menimbulkan kerusuhan dan tindakan tak manusiawi dari satuan polisi pamong praja sudah semestinya tidak terjadi lagi. Pemerintah sudah seharusnya bisa memfasilitasi mereka dengan memberikan kemudahan dan akses untuk berusaha.
Dalam hal ini ada baiknya pemerintah sesegera mungkin membantu para pegiat ekonomi lemah dan kaum miskin ini dengan memberikan kemudahan-kemudahan seperti dalam aspek hukum ( legal )dan jaminan akan property rights seperti yang dianjurkan oleh Hernando de Soto (2000) dalam bukunya yang legendaris “The Mystery of Capital” .
Tentunya langkah ini janganlah dijadikan sebagai lahan rent-seeking baru seperti yang lazimnya masih diidap oleh entitas birokrasi di negara kita. Karena pada dasarnya mereka yang selama ini seringkali diabaikan dari kacamata ekonomi liberal justru memiliki potensi untuk merubah capital sekecil apa pun menjadi sesuatu yang lebih produktif. Sudah saatnya kita memikirkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang lebih pro-rakyat dan memanusiakan manusia serta membumi. Dimuat pada Kolom Opini pada Harian Media Indonesia tanggal 6 November 2006
(Ini versi asli sebelum diedit oleh Redaksi Media Indonesia).
Teddy Lesmana
Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Alumnus The Australian National University
EKONÓNI INDONESIA DI MATA PROF. HARTOJO, SEBUAH POLEMIK
Menggugat Kurikulum Fakultas Ekonomi
ARTIKEL yang ditulis ekonom senior Dr Hartojo Wignjowijoto, "Pengajaran Ilmu Ekonomi di FE UGM Perparah Keterpurukan Ekonomi Indonesia", sungguh harus dijadikan bahan perdebatan (KR, 25/2/2004). Ada beberapa pokok pikiran yang dikemukakan dengan bahasa yang lugas. Pertama, pengajaran ilmu ekonomi di FE UGM (dan PT lainnya di tanah air) keliru. Ilmu yang diajarkan berpijak pada Teori Neoklasik yang mengabaikan tatanan sosial yang ada di masyarakat. Kedua, tidak ada dosen FE UGM yang memunculkan gagasan tentang adanya ketidakberesan dalam proses pengajaran ilmu ekonomi ini. Ketiga, kesalahan dalam pengajaran ini telah memperparah krisis ekonomi di tanah air. Hal ini dapat terjadi antara lain karena ada alumnus dan dosen FE UGM yang (dengan ilmu yang salah) terlibat langsung dalam pengelolaan kebijakan ekonomi nasional. Keempat, dosen-dosen di FE UGM terbelenggu oleh ilmu yang pernah dipelajarinya, dan tidak mampu melakukan penalaran atas kebenaran ilmunya untuk diterapkan di tanah air. Kelima, saran agar FE meluruskan pengajarannya ilmu ekonomi dengan berpijak pada kondisi riil masyarakat Indonesia.
Tulisan dengan gaya sarkastis itu memang tidak semata-mata ditujukan sebagai kritik pada FE UGM, melainkan juga PT-PT lainnya. Namun dengan selalu menempatkan penyebutan FE UGM di setiap awal kritiknya, maka tidak bisa dielakkan bahwa sasaran utama tulisan tersebut adalah FE UGM. Ini mungkin karena beliau sebagai alumnus juga ikut merasa memiliki kampus kerakyatan yang belakangan ini banyak mendapat sorotan, sehingga merasa ikut bertanggung jawab dengan memberi masukan (baca: kritik) pada almamaternya.Sebenarnya, sebagian besar tulisan Dr Hartojo hanya ingin menggarisbawahi dengan interpretasinya sendiri - pemikiran yang disampaikan Prof Dr AR Karseno. Dengan dasar pemikiran itu pula ia menyerang FE UGM sebagai lembaga yang harus bertanggung jawab atas krisis ekonomi yang terjadi selama ini.Jika disikapi dengan kepala panas, maka civitas akademika FE UGM (termasuk saya yang alumnus dua degree dari FE UGM), tulisan tersebut memang bisa memancing emosi.
Ini bukan saja kritiknya sangat keras, tetapi juga karena gaya bahasanya yang frontal, tanpa tedeng aling-aling, bahkan provokatif. Hal ini sangat berbeda dengan bahasa yang disampaikan Karseno yang njawani, sehingga disebut Hartojo sebagai munafik.Namun, sebagai institusi akademik, saya yakin FE UGM (dan juga PT lainnya) bisa melihat komentar tersebut secara jernih dengan kepala dingin. Menurut saya, secara substantif tulisan tersebut sangat baik. Baik dalam artian bisa menjadi momentum bagi FE UGM, dan FE-FE lain di tanah air untuk mawas diri dan mengkaji kurikulum dan metode pengajarannya. Jangan-jangan apa yang diajarkan selama ini memang banyak yang benar-benar salah!!??Bagi mereka yang rajin mengikuti perkembangan pemikiran ekonom di tanah air, sebenarnya kritik seperti yang disampaikan Hartojo (dan juga AR Karseno) sebetulnya bukan sesuatu yang baru.
Jadi, adalah keliru kalau Hartojo menyatakan, tidak seorang pun dari FE UGM dan universitas lainnya yang memunculkan gagasan bahwa ada yang enggak beres di dalam pengajaran di FE UGM. Jauh sebelum itu, dalam konteks Indonesia, Prof Mubyarto telah berulang kali menyuarakan hal yang sama. Berbagai tulisannya, baik dalam buku, artikel di media massa, maupun naskah ceramah seminar di berbagai forum, secara frontal telah menunjukkan kelemahan ajaran Neoklasik tersebut. Namun sejauh ini, kritik tersebut masih kurang direspons secara akademik. Pengajaran ilmu ekonomi terus berjalan as usual, dan ini tidak hanya di FE UGM tetapi di seluruh Fakultas Ekonomi di tanah air. Ketidakpuasan semacam ini sebetulnya sesuatu yang sudah cukup lama terjadi, dan ini tidak hanya di Indonesia. Letupan-letupan ketidakpuasan terhadap ekonomi konvensional itu kemudian memunculkan berbagai konsep ilmu ekonomi alternatif, seperti Ekonomi Kelembagaan (Kenneth Building), Ekonomika Strukturalis (Raul Prebisch), serta Ekonomika Islami yang digali oleh ekonom-ekonom muslim (Dumairy, 2003). Di Indonesia sejak awal 1980-an ketidakpuasan atas teori ekonomi konvensional itu sudah diwacanakan oleh Prof Mubyarto, dan kini dikembangkan melalui PUSTEP (Pusat Studi Ekonomi Pancasila) UGM. Bahkan, suatu studi (1997) di enam universitas terkemuka dunia (Chicago, Harvard, MIT, Stanford, Columbia, dan Yale) hanya 34% mahasiswa pascasarjana yang menyatakan "sangat setuju" ilmu ekonomi yang diajarkan di universitas-universitas AS relevan untuk memecahkan masalah ekonomi dewasa ini (Mubyarto 2002).
Perkembangan terbaru ditunjukkan di Fakultas Ekonomi Harvard University. Mereka tidak sekadar mewacanakan mengenai ekonomi alternatif, melainkan sudah pada tahap mengujicobakan pengajaran materi pengantar ilmu ekonomi alternatif tersebut. Mereka yang berpikir beda ini disebut oleh majalah The Economist sebagai dissident economist.Ekonom yang murtad (heterodox economist atau dissident economist) layak mendapat acuan jempol (deserve credit), demikian tulis The Economist (10 Mei 2003), berkait dengan ditawarkannya kuliah pengantar ekonomi alternatif di FE terkemuka dunia tersebut. Pengajarnya adalah Prof Martien Feldstein, mantan penasihat ekonomi Presiden AS Ronald Reagan. Acungan jempol juga diberikan karena mereka menawarkan kepada konsumennya (mahasiswa) suatu pelajaran alternatif tentang apa yang terbaik (diinginkan) bagi mereka untuk diketahui.
Asumsi dasar pengajaran ini berbeda dengan yang diajarkan ekonom neoklasik. Dengan menggunakan pendekatan psikologi, ekonom ini menolak konsep homo ekonomikus, yang selalu menganggap manusia bertindak rasional. Jika konsep ini diterima, maka dampaknya akan sangat luas bagi pengajaran ilmu ekonomi berbasiskan ekonomi neoklasik.Tulisan dalam rubrik Fokus Ekonomi bertajuk Behaviourist at the Gates tersebut menjelaskan bagaimana ekonom perilaku (behavioural economist) menggunakan psikologi untuk mempertanyakan resep-resep kebijakan ekonomi ortodoks (konvensional). Ditawarkannya mata kuliah pengantar ekonomi alternatif di Harvard tersebut menunjukkan apa yang dilakukan dengan mengkaji dan merumuskan sistem ekonomi alternatif seperti Ekonomi Pancasila bukanlah sesuatu yang aneh dan mengada-ada. Kebutuhan akan ekonomi alternatif ini juga muncul di kampus-kampus di Amerika di mana sebagian besar mahasiswa pertama kali memperoleh pengajaran mengenai konsep homo ekonomikus.Walaupun yang diajarkan para ekonom yang murtad (atau mungkin lebih pas disebut ekonom reformis, ekonom pembaharu) ini lebih jelas dibanding ekonomi neoklasik yang tidak rinci dalam menjelaskan perilaku manusia dalam dunia nyata, namun menurut The Economist, sejauh ini hasilnya masih sangat terbatas.
Pelajaran ekonomi masih didominasi rumus-rumus yang seolah tak mungkin salah, yang pelakunya - agents dan actors - selalu berperilaku rasional, merekomendasikan perdagangan bebas, pembatasan peran pemerintah, dan pajak yang rendah.Ide tentang teori ekonomi perilaku (behavioural economics) sebagian besar datang dari Daniel Kahneman, psikolog yang dua tahun lalu memperoleh Nobel dalam bidang ekonomi. Berbeda dengan Neoklasik, ekonomi perilaku ini menganggap bahwa manusia tidak selalu bertindak rasional. Orang mungkin mengabaikan risiko, dan mengambil langkah untung-untungan. Manusia mungkin tidak tahu bagaimana mengalokasikan uangnya untuk mencapai kepuasan maksimum. Lebih dari itu manusia tidak melulu bersifat mementingkan diri sendiri atau serakah (selfish).
Orangtua rela berkorban untuk anaknya; dan orang menyumbang untuk kegiatan sosial atau keagamaan tanpa mengharapkan keuntungan apapun.Anggapan manusia yang selfish telah menjadikan ilmu ekonomi mengajarkan manusia untuk selalu berperang (kompetisi) satu dengan lainnya, mengajarkan "keserakahan" yang diperhalus dengan kata kemakmuran. Kenyataannya manusia tidak selalu berpikir dan berbuat demikian. Manusia bisa bekerjasama (co-operation) untuk memenuhi kebutuhannya, mengedepankan keadilan ketimbang efisiensi, atau memasukkan pertimbangan moral dan etika dalam mengambil keputusan ekonomi. Karenanya ilmu ekonomi pun seharusnya bisa mengajarkan tentang konsep kerja sama untuk mencapai kemakmuran bersama bukan keserakahan individual.Banyak hal dari ajaran ekonomi ortodoks yang digugat oleh ekonom nonortodoks. Menurut mereka, teori dasar tentang kurva permintaan dan penawaran tidak akan banyak artinya, karena orang tidak selalu mampu menghitung uang yang dengan rela ia keluarkan untuk sesuatu kebutuhan. Padahal banyak sekali teori-teori ekonomi yang menggunakan pendekatan atau dasar teori tersebut. Untuk menghitung kenaikan biaya karena pajak, misalnya, juga tergantung pada kedua kurva tersebut.
Perdagangan bebas, misalnya, direkomendasikan berdasarkan manfaat yang diperoleh akibat turunnya bea masuk dibandingkan dengan biaya akibat hilangnya pekerjaan bagi industri yang tersaingi. Namun jika itu semua tidak bisa dihitung, maka rasionalitas di balik teori itu tidak ada artinya.Diajarkannya pemikiran ekonomi alternatif di Harvard merupakan angin segar untuk berkembangnya pemikiran-pemikiran ekonom di luar arus utama. Sebagian ekonom mungkin tak lagi terpaku dengan model-model ekonometerik yang canggih untuk menjelaskan fenomena ekonomi, menyusun suatu kebijakan, atau meramal masa depan perekonomian. Sebagaimana yang kini dilakukan Stephen Marglin, Guru Besar di Universitas Harvard yang merupakan pengusul pengajaran pengantar ekonomi yang nonkonvensional tersebut, yang lebih mendorong mahasiswanya untuk membaca tulisan-tulisan mengenai nasib pekerja tekstil di AS yang menganggur gara-gara NAFTA ketimbang mengkaji secara ekonometerika manfaat kerja sama dari perjanjian tersebut bagi AS dan Meksiko. Apakah Fakultas-fakultas Ekonomi di Indonesia tidak mau memulai menawarkan hal yang sama - pilihan matakuliah yang asumsinya berbeda dengan Neoklasik namun membumi atau bersifat ke-Indonesiaan? Barangkali FE UGM bisa menjadikan kritik dari Hartojo dijadikan sebagai momentum memulai sesuatu yang sebenarnya sudah dipikirkan oleh para alumni dan segelintir dosennya. q - o*)
Dr Edy Suandi Hamid, Dosen Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta. .
Sumber : http://re-searchengines.com/eddysuandi6-04.html, Google, Wikipedia
ARTIKEL yang ditulis ekonom senior Dr Hartojo Wignjowijoto, "Pengajaran Ilmu Ekonomi di FE UGM Perparah Keterpurukan Ekonomi Indonesia", sungguh harus dijadikan bahan perdebatan (KR, 25/2/2004). Ada beberapa pokok pikiran yang dikemukakan dengan bahasa yang lugas. Pertama, pengajaran ilmu ekonomi di FE UGM (dan PT lainnya di tanah air) keliru. Ilmu yang diajarkan berpijak pada Teori Neoklasik yang mengabaikan tatanan sosial yang ada di masyarakat. Kedua, tidak ada dosen FE UGM yang memunculkan gagasan tentang adanya ketidakberesan dalam proses pengajaran ilmu ekonomi ini. Ketiga, kesalahan dalam pengajaran ini telah memperparah krisis ekonomi di tanah air. Hal ini dapat terjadi antara lain karena ada alumnus dan dosen FE UGM yang (dengan ilmu yang salah) terlibat langsung dalam pengelolaan kebijakan ekonomi nasional. Keempat, dosen-dosen di FE UGM terbelenggu oleh ilmu yang pernah dipelajarinya, dan tidak mampu melakukan penalaran atas kebenaran ilmunya untuk diterapkan di tanah air. Kelima, saran agar FE meluruskan pengajarannya ilmu ekonomi dengan berpijak pada kondisi riil masyarakat Indonesia.
Tulisan dengan gaya sarkastis itu memang tidak semata-mata ditujukan sebagai kritik pada FE UGM, melainkan juga PT-PT lainnya. Namun dengan selalu menempatkan penyebutan FE UGM di setiap awal kritiknya, maka tidak bisa dielakkan bahwa sasaran utama tulisan tersebut adalah FE UGM. Ini mungkin karena beliau sebagai alumnus juga ikut merasa memiliki kampus kerakyatan yang belakangan ini banyak mendapat sorotan, sehingga merasa ikut bertanggung jawab dengan memberi masukan (baca: kritik) pada almamaternya.Sebenarnya, sebagian besar tulisan Dr Hartojo hanya ingin menggarisbawahi dengan interpretasinya sendiri - pemikiran yang disampaikan Prof Dr AR Karseno. Dengan dasar pemikiran itu pula ia menyerang FE UGM sebagai lembaga yang harus bertanggung jawab atas krisis ekonomi yang terjadi selama ini.Jika disikapi dengan kepala panas, maka civitas akademika FE UGM (termasuk saya yang alumnus dua degree dari FE UGM), tulisan tersebut memang bisa memancing emosi.
Ini bukan saja kritiknya sangat keras, tetapi juga karena gaya bahasanya yang frontal, tanpa tedeng aling-aling, bahkan provokatif. Hal ini sangat berbeda dengan bahasa yang disampaikan Karseno yang njawani, sehingga disebut Hartojo sebagai munafik.Namun, sebagai institusi akademik, saya yakin FE UGM (dan juga PT lainnya) bisa melihat komentar tersebut secara jernih dengan kepala dingin. Menurut saya, secara substantif tulisan tersebut sangat baik. Baik dalam artian bisa menjadi momentum bagi FE UGM, dan FE-FE lain di tanah air untuk mawas diri dan mengkaji kurikulum dan metode pengajarannya. Jangan-jangan apa yang diajarkan selama ini memang banyak yang benar-benar salah!!??Bagi mereka yang rajin mengikuti perkembangan pemikiran ekonom di tanah air, sebenarnya kritik seperti yang disampaikan Hartojo (dan juga AR Karseno) sebetulnya bukan sesuatu yang baru.
Jadi, adalah keliru kalau Hartojo menyatakan, tidak seorang pun dari FE UGM dan universitas lainnya yang memunculkan gagasan bahwa ada yang enggak beres di dalam pengajaran di FE UGM. Jauh sebelum itu, dalam konteks Indonesia, Prof Mubyarto telah berulang kali menyuarakan hal yang sama. Berbagai tulisannya, baik dalam buku, artikel di media massa, maupun naskah ceramah seminar di berbagai forum, secara frontal telah menunjukkan kelemahan ajaran Neoklasik tersebut. Namun sejauh ini, kritik tersebut masih kurang direspons secara akademik. Pengajaran ilmu ekonomi terus berjalan as usual, dan ini tidak hanya di FE UGM tetapi di seluruh Fakultas Ekonomi di tanah air. Ketidakpuasan semacam ini sebetulnya sesuatu yang sudah cukup lama terjadi, dan ini tidak hanya di Indonesia. Letupan-letupan ketidakpuasan terhadap ekonomi konvensional itu kemudian memunculkan berbagai konsep ilmu ekonomi alternatif, seperti Ekonomi Kelembagaan (Kenneth Building), Ekonomika Strukturalis (Raul Prebisch), serta Ekonomika Islami yang digali oleh ekonom-ekonom muslim (Dumairy, 2003). Di Indonesia sejak awal 1980-an ketidakpuasan atas teori ekonomi konvensional itu sudah diwacanakan oleh Prof Mubyarto, dan kini dikembangkan melalui PUSTEP (Pusat Studi Ekonomi Pancasila) UGM. Bahkan, suatu studi (1997) di enam universitas terkemuka dunia (Chicago, Harvard, MIT, Stanford, Columbia, dan Yale) hanya 34% mahasiswa pascasarjana yang menyatakan "sangat setuju" ilmu ekonomi yang diajarkan di universitas-universitas AS relevan untuk memecahkan masalah ekonomi dewasa ini (Mubyarto 2002).
Perkembangan terbaru ditunjukkan di Fakultas Ekonomi Harvard University. Mereka tidak sekadar mewacanakan mengenai ekonomi alternatif, melainkan sudah pada tahap mengujicobakan pengajaran materi pengantar ilmu ekonomi alternatif tersebut. Mereka yang berpikir beda ini disebut oleh majalah The Economist sebagai dissident economist.Ekonom yang murtad (heterodox economist atau dissident economist) layak mendapat acuan jempol (deserve credit), demikian tulis The Economist (10 Mei 2003), berkait dengan ditawarkannya kuliah pengantar ekonomi alternatif di FE terkemuka dunia tersebut. Pengajarnya adalah Prof Martien Feldstein, mantan penasihat ekonomi Presiden AS Ronald Reagan. Acungan jempol juga diberikan karena mereka menawarkan kepada konsumennya (mahasiswa) suatu pelajaran alternatif tentang apa yang terbaik (diinginkan) bagi mereka untuk diketahui.
Asumsi dasar pengajaran ini berbeda dengan yang diajarkan ekonom neoklasik. Dengan menggunakan pendekatan psikologi, ekonom ini menolak konsep homo ekonomikus, yang selalu menganggap manusia bertindak rasional. Jika konsep ini diterima, maka dampaknya akan sangat luas bagi pengajaran ilmu ekonomi berbasiskan ekonomi neoklasik.Tulisan dalam rubrik Fokus Ekonomi bertajuk Behaviourist at the Gates tersebut menjelaskan bagaimana ekonom perilaku (behavioural economist) menggunakan psikologi untuk mempertanyakan resep-resep kebijakan ekonomi ortodoks (konvensional). Ditawarkannya mata kuliah pengantar ekonomi alternatif di Harvard tersebut menunjukkan apa yang dilakukan dengan mengkaji dan merumuskan sistem ekonomi alternatif seperti Ekonomi Pancasila bukanlah sesuatu yang aneh dan mengada-ada. Kebutuhan akan ekonomi alternatif ini juga muncul di kampus-kampus di Amerika di mana sebagian besar mahasiswa pertama kali memperoleh pengajaran mengenai konsep homo ekonomikus.Walaupun yang diajarkan para ekonom yang murtad (atau mungkin lebih pas disebut ekonom reformis, ekonom pembaharu) ini lebih jelas dibanding ekonomi neoklasik yang tidak rinci dalam menjelaskan perilaku manusia dalam dunia nyata, namun menurut The Economist, sejauh ini hasilnya masih sangat terbatas.
Pelajaran ekonomi masih didominasi rumus-rumus yang seolah tak mungkin salah, yang pelakunya - agents dan actors - selalu berperilaku rasional, merekomendasikan perdagangan bebas, pembatasan peran pemerintah, dan pajak yang rendah.Ide tentang teori ekonomi perilaku (behavioural economics) sebagian besar datang dari Daniel Kahneman, psikolog yang dua tahun lalu memperoleh Nobel dalam bidang ekonomi. Berbeda dengan Neoklasik, ekonomi perilaku ini menganggap bahwa manusia tidak selalu bertindak rasional. Orang mungkin mengabaikan risiko, dan mengambil langkah untung-untungan. Manusia mungkin tidak tahu bagaimana mengalokasikan uangnya untuk mencapai kepuasan maksimum. Lebih dari itu manusia tidak melulu bersifat mementingkan diri sendiri atau serakah (selfish).
Orangtua rela berkorban untuk anaknya; dan orang menyumbang untuk kegiatan sosial atau keagamaan tanpa mengharapkan keuntungan apapun.Anggapan manusia yang selfish telah menjadikan ilmu ekonomi mengajarkan manusia untuk selalu berperang (kompetisi) satu dengan lainnya, mengajarkan "keserakahan" yang diperhalus dengan kata kemakmuran. Kenyataannya manusia tidak selalu berpikir dan berbuat demikian. Manusia bisa bekerjasama (co-operation) untuk memenuhi kebutuhannya, mengedepankan keadilan ketimbang efisiensi, atau memasukkan pertimbangan moral dan etika dalam mengambil keputusan ekonomi. Karenanya ilmu ekonomi pun seharusnya bisa mengajarkan tentang konsep kerja sama untuk mencapai kemakmuran bersama bukan keserakahan individual.Banyak hal dari ajaran ekonomi ortodoks yang digugat oleh ekonom nonortodoks. Menurut mereka, teori dasar tentang kurva permintaan dan penawaran tidak akan banyak artinya, karena orang tidak selalu mampu menghitung uang yang dengan rela ia keluarkan untuk sesuatu kebutuhan. Padahal banyak sekali teori-teori ekonomi yang menggunakan pendekatan atau dasar teori tersebut. Untuk menghitung kenaikan biaya karena pajak, misalnya, juga tergantung pada kedua kurva tersebut.
Perdagangan bebas, misalnya, direkomendasikan berdasarkan manfaat yang diperoleh akibat turunnya bea masuk dibandingkan dengan biaya akibat hilangnya pekerjaan bagi industri yang tersaingi. Namun jika itu semua tidak bisa dihitung, maka rasionalitas di balik teori itu tidak ada artinya.Diajarkannya pemikiran ekonomi alternatif di Harvard merupakan angin segar untuk berkembangnya pemikiran-pemikiran ekonom di luar arus utama. Sebagian ekonom mungkin tak lagi terpaku dengan model-model ekonometerik yang canggih untuk menjelaskan fenomena ekonomi, menyusun suatu kebijakan, atau meramal masa depan perekonomian. Sebagaimana yang kini dilakukan Stephen Marglin, Guru Besar di Universitas Harvard yang merupakan pengusul pengajaran pengantar ekonomi yang nonkonvensional tersebut, yang lebih mendorong mahasiswanya untuk membaca tulisan-tulisan mengenai nasib pekerja tekstil di AS yang menganggur gara-gara NAFTA ketimbang mengkaji secara ekonometerika manfaat kerja sama dari perjanjian tersebut bagi AS dan Meksiko. Apakah Fakultas-fakultas Ekonomi di Indonesia tidak mau memulai menawarkan hal yang sama - pilihan matakuliah yang asumsinya berbeda dengan Neoklasik namun membumi atau bersifat ke-Indonesiaan? Barangkali FE UGM bisa menjadikan kritik dari Hartojo dijadikan sebagai momentum memulai sesuatu yang sebenarnya sudah dipikirkan oleh para alumni dan segelintir dosennya. q - o*)
Dr Edy Suandi Hamid, Dosen Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta. .
Sumber : http://re-searchengines.com/eddysuandi6-04.html, Google, Wikipedia
Peran Investasi Dalam Pembangunan Ekonomi Nasional
Pada saat itu perhitungan serta kalkulasi proyek-proyek investasi baru dapat dengan mudah dilakukan karena memang terdapat kepastian berusaha yang tinggi dan tingkat resiko kegagalan dalam berusaha yang rendah. Resiko berusaha yang rendah ini didukung oleh iklim politik yang stabil. Keamanan dalam perjalanan barang pasokan dan bahan mentah untuk kegiatan industri dan proses logistik dari produk dan barang jadi perusahaan dapat terkirim dengan mudah dan murah ditangan konsumen.
Demikian juga sistem perijinan investasi masih ditangani secara sentralistis sehingga sekaligus mengurangi rantai birokrasi yang berlebihan. Tuntutan partai politik dan lembaga swadaya masyarakatpun masih dalam koridor yang tidak banyak mengganggu jalannya proses berbisnis.
Kondisi iklim berusaha dan resiko investasi yang positif ternyata kemudian membuah kan hasilnya. Perusahaan-perusahaan domestik tanpa ragu-ragu dapat melakukan ekspansi usahanya disegala lini produksi. Minat untuk melakukan investasi secara langsung pada sektor riil yang dilakukan oleh masyarakat bisnis dan industri rumahtangga meningkat tajam baik di sektor pertanian, perikanan, pertambangan, konstruksi, industri pengolahan, industri berat, jasa keuangan dan perbankan, serta pada sektor-sektor jasa lainnya.
Minat investasi yang paling menonjol dan menunjukkan peningkatannya adalah investasi langsung dalam rangka mendapatkan fasilitas penanaman modal asing (FDI). Kehadiran FDI telah memberikan kontribusi yang besar dalam mendorong kinerja laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, mendorong timbulnya industri pasokan bahan baku lokal, proses alih teknologi dan manajemen, serta manfaat bagi investor lokal. Manfaat yang paling menonjol adalah berkembang nya kolaborasi yang saling menguntungkan dan terjalin antar investor asing dengan kalangan pebisnis lokal. Disini kita melihat bagaimana bisnis dan industri komponen berkembang dengan pesat, termasuk berbagai kegiatan usaha yang berorientasikan ekspor.
Perkembangan investasi langsung yang dahsyad tersebut kemudian memberikan berbagai manfaat dan dampak positif untuk perkembangan ekonomi nasional dan lokal. Devisa negara kita mengalami peningkatan yang cukup berarti sehingga negara kita dapat memiliki cadangan pendanaan untuk keperluan berjaga-jaga dalam kondisi yang kurang baik. Lapangan kerja secara nasionalpun dapat diberikan pada jumlah yang tinggi, dimana dengan satu persen laju pertumbuhan dalam perekonomian nasional dapat secara langsung memberikan tambahan lapangan kerja antara 700 ribu sampai dengan 800 ribu pekerja.
Jarang kita mendengar keluhan dari para calon pekerja di daerah perkotaan yang sulit mendapatkan lapangan kerja. Tingkat pengangguran dapat ditekan seminimal mungkin. Lapangan kerja yang diberikan oleh kehadiran perusahaan asing dan domestik berorientasi kan ekspor secara bersamaan telah dirasakan manfaatnya oleh kalangan pekerja kerah putih, para lulusan program pasca sarjana maupun para lulusan dari program pendidikan sarjana di tanah air. Ditempat lokasi kerja perusahaan asing putra-putra bangsa mendapatkan pengalaman yang sangat luas dalam bidangnya masing-masing, dengan pengenalan pada wawasan manajemen modern dan pengenalan terhadap kehadiran pasar global. Beberapa diantara karyawan tersebut kemudian beralih status menjadi entrepeneur-entrepreneur muda yang telah membesarkan perkembangan usaha-usaha ekonomi berskala menegah dan kecil.
Perkembangan investasi pengusaha domestik dan asing tadi masih memberikan berbagai kontribusi positif untuk peningkatan sumber-sumber pajak perusahaan dan perseorangan yang berguna dalam pembangunan daerah pada tingkat satu dan tingkat dua. Perkembangan ekonomi lokal disekitar lokasi tempat usaha perusahaan-perusahaan yang menanamkan investasinya menunjukkan kecenderungan mendapatkan pengaruh dampak langsung dari kehadiran mereka. Penyelenggaran fasilitas umum dan sosial dapat ditingkatkan sekaligus bertambahnya tingkat konsumsi lokal terhadap kebutuhan pokok dan kebutuhan sehari-hari.
Tantangan
Rekaman peristiwa dan kasus-kasus diatas terjadi beberapa puluh tahun sebelum krisis perekonomian terjadi. Setelah krisis multidimesional melanda negeri kita kondisi dan perkembangan yang diutarakan tersebut mengalami kemunduran. Proses perubahan tatanan sosial dan ekonomi pada era reformasi menimbulkan tantangan sekaligus harapan-harapan.Kita dihadapkan pada kenyataan pahit bagaimana mesin pertumbuhan perekonomian nasional yang berbasiskan perluasan kapasitas terpasang industri ternyata belum mampu untuk tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan.
Banyak perusahaan-perusahaan domestik yang menggurita sebagai perusahaan konglomerasi mengalami kemundurannya,dan bahkan sebagian gugur dimedan laga terkena imbas negatif krisis ekonomi.
Kekurang hati-hatian dalam mengelola perusahaan dalam kondisi lingkungan eksternal perusahaan yang berubah cepat (turbulent change) merupakan salah satu faktor utama dari kegagalan tersebut. Praktek bisnis yang tercela dan kasus-kasus kecurangan dalam politik berbisnis yang berbau korupsi, kolusi dan nepotisme mengakibatkan perusahaan-perusahaan tersebut sangat rentan menghadapi badai krisis dan lingkungan yang bergejolak. Kecerobohan dan praktek-pratek tidak terpuji ini membawa implikasi pada peningkatan biaya rente dan pemborosan finansial yang berlebihan.
Akibatnya perusahaan-perusahaan tersebut tidak lagi memliki daya saing dalam percaturan untuk memperebutkan pangsa pasar produk-produk Indonesia di perekonomian internasional. Posisi daya saing sebagian produk ekspor Indonesia terpaksa terkerek jatuh pada tingkat terbawah dalam ranking daya saing internasional. Kita terpaksa mengakui keunggulan daya saing dari negara-negara pengekspor produk-produk serupa seperti China, Malaysia, India, Vietnam, dan Korea Selatan yang dapat bertahan dan bahkan meraih dan memperluas pangsa pasar ekspor mereka. Pengusaha-pengusaha pribumi di negara tetangga tersebut dapat meraih keunggulan karena mereka telah melakukan praktek berbisnis secara lebih baik dari apa yang telah diperbuat oleh pengusaha-pengusaha domestik kita. Tidaklah heran jika pada saat ini mereka tetap berjaya
Melihat lebih lanjut pada pengalaman negara lain dalam mempersiapkan datangnya gelombang globalisasi kita terpaksa harus belajar banyak.Sebagai contoh dapat kita lihat dengan pengalaman negara China. China memiliki jumlah penduduk yang tinggi di dunia, melebihi jumlah penduduk diIndonesia. Negara ini sama-sama memperoleh kemerdekaan nya tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Chinapun sedang dalam proses melakukan transformasi di bidang sosial-ekonominya sejak dicanangkannya revolusi kebudayaan beberapa puluh tahun yang lalu.
Perubahan terpenting yang dilakukan oleh pemerintah dan kalangan pebisnis di negara tersebut tidaklah tangung-tanggung. Segera setelah reformasi pembangunan menggelinding, pemerintah pusat menetapkan beberapa kawasan utama sebagai tempat lokasi bermukimnya perusahaan-perusahaan asing yang menjadi sasaran pembangunan. Pemerintah dan kalangan pebisnis di China sangat menyadari arti dan peran kehadiran FDI dalam mendukung proses transformasi ekonomi mereka.
Desentralisasi kewenangan dalam perijinan usaha dan investasi diberikan dengan penuh pada pengelolaan kawasan tersebut. Melalui strategi ini pemerintah China telah melakukan proses otonomi daerah secara tidak langsung. Hanya model yang mereka tempuh lebih terkelola dengan baik, dengan dapat diminimalisirnya kemungkinan hambatan birokrasi dan instabilitas politik. Para pengambil kebijakan pada tingkat pusat dan daerah menyadari sepenuhnya bahwa yang memerlukan kehadiran FDI adalah China dan bukan kondisi sebaliknya.
Kebijakan lainnya yang mendukung program peningkatan investasi di negara China adalah pengiriman para karyawan pabrik ke negara industri untuk mempelajari proses produksi produk-produk berbasiskan teknologi maju dan ketrampilan dalam bidang riset dan rekayasa industri. Pemerintah menyadari pentingnya negara penerima FDI untuk menyiapkan tenaga trampil siap pakai saat mereka akan mengundang calon investor asing tersebut berketetapan akan memulai merealisasikan rencana-rencana investasi, pemerintah pusat menunjuk dan memberikan kewenangan penuh pada beberapa pihak tertentu untuk memproses perijinan dalam satu atap. Dengan demikian birokrasi yang tidak diperlukan dapat dihilangkan.
Orientasi kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang “pro” kepada kehadiran investasi di kawasan industri dan lokasi-lokasi usaha tertentu kemudian ternyata membuahkan hasilnya. Tanpa diduga arus masuk modal asing, kredit investasi dan FDI ke wilayah-wilayah tersebut meningkat dengan tajamnya. Hiruk pikuk dan peningkatan pembangunan proyek-proyek investasi dalam segala jenis kegiatan dan besaran skala usaha mewarnai perekonomian nasional dan perekonomian lokal. Tingkat penggangguran dapat ditekan dan terjadilah lonjakan tajam dan percepatan laju pertumbuhan ekonomi maupun tingkat pendapatan rumah tangga.
Tantangan lainnya yang dihadapi oleh para pelaku bisnis dan calon investor di negeri kita adalah bagaimana pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat dapat memberikan iklim yang kondusif untuk terselengaranya investasi. Pada tingkatan pemerintah pusat, masalah yang dihadapi adalah masih belum terlihatnya yang jelas dalam strategi pengembangan industrialisasi. Strategi yang demikian sangat diperlukan sehingga birokrasi pada pemerintah daerah propinsi dan pemerintah daerah kabupaten, dapat menyatu-padukan dan melakukan koordinasi atas rancangan-rancangan pengembangan investasinya di daerah untuk dapat mendukung tercapainya target-target dari strategi industrialisasi nasional tersebut.
Pemerintah daerah juga dituntut untuk dapat memelihara iklim usaha yang baik dan tidak memberatkan dunia usaha dan para calon investor di kawasannya masing-masing. Akhirnya bagi masyarakat, pada era demokratisasi saat ini yang sedang marak akhir-akhir ini dengan berbagai tuntutan-tuntutan yang berlebihan janganlah mengorbankan iklim usaha yang telah terbina. Pengusaha dan calon investor di manapun menuntut kenyamanan, keamanan dan kepastian berusaha dari proses penanaman modalnya di daerah. Kemajuan dan peningkatan volume produksi dari kegiatan-kegiatan investasi yang diunggulkan sudah pasti lambat laun akan memberikan efek pengganda pada perekonomian lokal dan pendapatan rumah tangga masyarakat disekitarnya.
Masih banyak lagi tantangan-tantangan lainnya untuk disebutkan satu persatu disini. Yang jelas baik kalangan pebisnis sendiri maupun para pelaku-pelaku ekonomi dan administrasi pemerintahan perlu melakukan perubahan-perubahan cara pandang, penerapan tata kelola perusahaan dan tata kelola administrasi pemerintahan yang saling mendukung demi terciptanya percepatan investasi di masing-masing daerah dan lokalitas.
Momentum percepatan investasi seperti yang terjadi di China perlu dipelajari dan ditiru, sehingga pada akhirnya dapat tercipta lapangan kerja yang lebih banyak dan manfaat untuk masyarakat yang lebih luas.
Mempersiapkan Masa Depan
Kondisi kehidupan perekonomian dan tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera merupakan harapan yang banyak ditunggu oleh putra-putri Indonesia dalam menyongsong masa depannya. Harapan yang mereka sangat tunggu adalah kapankah lapangan kerja di sekitar mereka dapat tersedia dengan cukup dan memadai. Mereka telah melihat sendiri dan turut serta dalam menggulirkan berbagai reformasi, tentunya dengan harapan pada suatu saat akan dapat mewujudkan cita-cita tersebut.
Lapangan kerja yang memadai dan penerapan sistem balas jasa di perusahaan secara berkecukupan dapat terselenggara apabila proses investasi secara langsung dapat bergulir seperti sediakala. Bahkan untuk mengejar keterlambatan dalam memacu mesin perekonomian kita, ternyata masih diperlukan lagi lonjakan jumlah investasi yang besar dan dahsyad. Kondisi perekonomian di negara kita yang berangsur baik dalam beberapa tahun terakhir masih perlu didorong lebih lanjut dengan memacu kehadiran dan tambahan investasi yang berasal dari masyarakat, investasi PMDN maupun investasi PMA.
Orientasi pada pembangunan ekonomi nasional dan lokal perlu dibuat agar lebih mendekatkan pada kepentingan kehadiran calon-calon investor di berbagai pelosok tanah air. Demikian juga perusahaan-perusahaan yang sudah ada harus dijaga eksistensinya, agar mereka tetap betah dan dapat menjalankan kegiatan usahanya di lokasi-lokasi tersebut. Tekanan-tekanan yang menuntut keadilan dan perbaikan kesejahteraan karyawan perlu dilakukan dengan sopan, senantiasa mencari solusi-solusi kompromi demi kepentingan kelangsungan hidup usaha. Janganlah tujuan-tujuan politik dan kepentingan dari segelintir kelompok dicampur-adukkan dalam proses pemberian perijinan investasi dan usaha dengan memperpanjang jalur birokrasi.
Proses otonomi daerahpun perlu dilakukan dengan bijak tanpa membebani kepentingan dunia usaha secara berkelebihan. Proses pencarian dan penetapan sumber-sumber keuangan pemerintahan daerah hendaknya dapat dilakukan dengan memperhatikan keberlangsungan dan eksistensi perusahaan-perusahaan yang telah bermukim lama di daerah.
Budaya melayani kepentingan calon investor baru perlu ditanamkan diseluruh jajaran aparat birokrasi pemerintahan. Dalam hal ini perlu dimengerti bahwa wilayah atau kawasan tempat berusaha tidak lagi dapat ditawarkan dan dipromosikan dengan mudah. Masih ada ratusan alternatif tempat usaha di berbagai lokalitas di penjuru dunia yang memiliki aksesibilitas ke pasar global. Tidak ada cara yang lebih baik apabila birokrat pemerintahan memberikan pelayanan yang terbaik, memangkas birokrasi, mengurangi beban-beban usaha yang berlebihan, menciptakan iklim investasi dan usaha serta mempersiapkan putra-putri di daerah untuk dapat berpartisipasi dalam proses kegiatan investasi. Dengan cara demikian maka kita telah memberikan warisan terbaik baik putra-putri bangsa, antara lain melalui penciptaan lapangan kerja yang lebih baik, lebih luas.
Sumber: Warta Kota, Kompas, Google
Demikian juga sistem perijinan investasi masih ditangani secara sentralistis sehingga sekaligus mengurangi rantai birokrasi yang berlebihan. Tuntutan partai politik dan lembaga swadaya masyarakatpun masih dalam koridor yang tidak banyak mengganggu jalannya proses berbisnis.
Kondisi iklim berusaha dan resiko investasi yang positif ternyata kemudian membuah kan hasilnya. Perusahaan-perusahaan domestik tanpa ragu-ragu dapat melakukan ekspansi usahanya disegala lini produksi. Minat untuk melakukan investasi secara langsung pada sektor riil yang dilakukan oleh masyarakat bisnis dan industri rumahtangga meningkat tajam baik di sektor pertanian, perikanan, pertambangan, konstruksi, industri pengolahan, industri berat, jasa keuangan dan perbankan, serta pada sektor-sektor jasa lainnya.
Minat investasi yang paling menonjol dan menunjukkan peningkatannya adalah investasi langsung dalam rangka mendapatkan fasilitas penanaman modal asing (FDI). Kehadiran FDI telah memberikan kontribusi yang besar dalam mendorong kinerja laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, mendorong timbulnya industri pasokan bahan baku lokal, proses alih teknologi dan manajemen, serta manfaat bagi investor lokal. Manfaat yang paling menonjol adalah berkembang nya kolaborasi yang saling menguntungkan dan terjalin antar investor asing dengan kalangan pebisnis lokal. Disini kita melihat bagaimana bisnis dan industri komponen berkembang dengan pesat, termasuk berbagai kegiatan usaha yang berorientasikan ekspor.
Perkembangan investasi langsung yang dahsyad tersebut kemudian memberikan berbagai manfaat dan dampak positif untuk perkembangan ekonomi nasional dan lokal. Devisa negara kita mengalami peningkatan yang cukup berarti sehingga negara kita dapat memiliki cadangan pendanaan untuk keperluan berjaga-jaga dalam kondisi yang kurang baik. Lapangan kerja secara nasionalpun dapat diberikan pada jumlah yang tinggi, dimana dengan satu persen laju pertumbuhan dalam perekonomian nasional dapat secara langsung memberikan tambahan lapangan kerja antara 700 ribu sampai dengan 800 ribu pekerja.
Jarang kita mendengar keluhan dari para calon pekerja di daerah perkotaan yang sulit mendapatkan lapangan kerja. Tingkat pengangguran dapat ditekan seminimal mungkin. Lapangan kerja yang diberikan oleh kehadiran perusahaan asing dan domestik berorientasi kan ekspor secara bersamaan telah dirasakan manfaatnya oleh kalangan pekerja kerah putih, para lulusan program pasca sarjana maupun para lulusan dari program pendidikan sarjana di tanah air. Ditempat lokasi kerja perusahaan asing putra-putra bangsa mendapatkan pengalaman yang sangat luas dalam bidangnya masing-masing, dengan pengenalan pada wawasan manajemen modern dan pengenalan terhadap kehadiran pasar global. Beberapa diantara karyawan tersebut kemudian beralih status menjadi entrepeneur-entrepreneur muda yang telah membesarkan perkembangan usaha-usaha ekonomi berskala menegah dan kecil.
Perkembangan investasi pengusaha domestik dan asing tadi masih memberikan berbagai kontribusi positif untuk peningkatan sumber-sumber pajak perusahaan dan perseorangan yang berguna dalam pembangunan daerah pada tingkat satu dan tingkat dua. Perkembangan ekonomi lokal disekitar lokasi tempat usaha perusahaan-perusahaan yang menanamkan investasinya menunjukkan kecenderungan mendapatkan pengaruh dampak langsung dari kehadiran mereka. Penyelenggaran fasilitas umum dan sosial dapat ditingkatkan sekaligus bertambahnya tingkat konsumsi lokal terhadap kebutuhan pokok dan kebutuhan sehari-hari.
Tantangan
Rekaman peristiwa dan kasus-kasus diatas terjadi beberapa puluh tahun sebelum krisis perekonomian terjadi. Setelah krisis multidimesional melanda negeri kita kondisi dan perkembangan yang diutarakan tersebut mengalami kemunduran. Proses perubahan tatanan sosial dan ekonomi pada era reformasi menimbulkan tantangan sekaligus harapan-harapan.Kita dihadapkan pada kenyataan pahit bagaimana mesin pertumbuhan perekonomian nasional yang berbasiskan perluasan kapasitas terpasang industri ternyata belum mampu untuk tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan.
Banyak perusahaan-perusahaan domestik yang menggurita sebagai perusahaan konglomerasi mengalami kemundurannya,dan bahkan sebagian gugur dimedan laga terkena imbas negatif krisis ekonomi.
Kekurang hati-hatian dalam mengelola perusahaan dalam kondisi lingkungan eksternal perusahaan yang berubah cepat (turbulent change) merupakan salah satu faktor utama dari kegagalan tersebut. Praktek bisnis yang tercela dan kasus-kasus kecurangan dalam politik berbisnis yang berbau korupsi, kolusi dan nepotisme mengakibatkan perusahaan-perusahaan tersebut sangat rentan menghadapi badai krisis dan lingkungan yang bergejolak. Kecerobohan dan praktek-pratek tidak terpuji ini membawa implikasi pada peningkatan biaya rente dan pemborosan finansial yang berlebihan.
Akibatnya perusahaan-perusahaan tersebut tidak lagi memliki daya saing dalam percaturan untuk memperebutkan pangsa pasar produk-produk Indonesia di perekonomian internasional. Posisi daya saing sebagian produk ekspor Indonesia terpaksa terkerek jatuh pada tingkat terbawah dalam ranking daya saing internasional. Kita terpaksa mengakui keunggulan daya saing dari negara-negara pengekspor produk-produk serupa seperti China, Malaysia, India, Vietnam, dan Korea Selatan yang dapat bertahan dan bahkan meraih dan memperluas pangsa pasar ekspor mereka. Pengusaha-pengusaha pribumi di negara tetangga tersebut dapat meraih keunggulan karena mereka telah melakukan praktek berbisnis secara lebih baik dari apa yang telah diperbuat oleh pengusaha-pengusaha domestik kita. Tidaklah heran jika pada saat ini mereka tetap berjaya
Melihat lebih lanjut pada pengalaman negara lain dalam mempersiapkan datangnya gelombang globalisasi kita terpaksa harus belajar banyak.Sebagai contoh dapat kita lihat dengan pengalaman negara China. China memiliki jumlah penduduk yang tinggi di dunia, melebihi jumlah penduduk diIndonesia. Negara ini sama-sama memperoleh kemerdekaan nya tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Chinapun sedang dalam proses melakukan transformasi di bidang sosial-ekonominya sejak dicanangkannya revolusi kebudayaan beberapa puluh tahun yang lalu.
Perubahan terpenting yang dilakukan oleh pemerintah dan kalangan pebisnis di negara tersebut tidaklah tangung-tanggung. Segera setelah reformasi pembangunan menggelinding, pemerintah pusat menetapkan beberapa kawasan utama sebagai tempat lokasi bermukimnya perusahaan-perusahaan asing yang menjadi sasaran pembangunan. Pemerintah dan kalangan pebisnis di China sangat menyadari arti dan peran kehadiran FDI dalam mendukung proses transformasi ekonomi mereka.
Desentralisasi kewenangan dalam perijinan usaha dan investasi diberikan dengan penuh pada pengelolaan kawasan tersebut. Melalui strategi ini pemerintah China telah melakukan proses otonomi daerah secara tidak langsung. Hanya model yang mereka tempuh lebih terkelola dengan baik, dengan dapat diminimalisirnya kemungkinan hambatan birokrasi dan instabilitas politik. Para pengambil kebijakan pada tingkat pusat dan daerah menyadari sepenuhnya bahwa yang memerlukan kehadiran FDI adalah China dan bukan kondisi sebaliknya.
Kebijakan lainnya yang mendukung program peningkatan investasi di negara China adalah pengiriman para karyawan pabrik ke negara industri untuk mempelajari proses produksi produk-produk berbasiskan teknologi maju dan ketrampilan dalam bidang riset dan rekayasa industri. Pemerintah menyadari pentingnya negara penerima FDI untuk menyiapkan tenaga trampil siap pakai saat mereka akan mengundang calon investor asing tersebut berketetapan akan memulai merealisasikan rencana-rencana investasi, pemerintah pusat menunjuk dan memberikan kewenangan penuh pada beberapa pihak tertentu untuk memproses perijinan dalam satu atap. Dengan demikian birokrasi yang tidak diperlukan dapat dihilangkan.
Orientasi kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang “pro” kepada kehadiran investasi di kawasan industri dan lokasi-lokasi usaha tertentu kemudian ternyata membuahkan hasilnya. Tanpa diduga arus masuk modal asing, kredit investasi dan FDI ke wilayah-wilayah tersebut meningkat dengan tajamnya. Hiruk pikuk dan peningkatan pembangunan proyek-proyek investasi dalam segala jenis kegiatan dan besaran skala usaha mewarnai perekonomian nasional dan perekonomian lokal. Tingkat penggangguran dapat ditekan dan terjadilah lonjakan tajam dan percepatan laju pertumbuhan ekonomi maupun tingkat pendapatan rumah tangga.
Tantangan lainnya yang dihadapi oleh para pelaku bisnis dan calon investor di negeri kita adalah bagaimana pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat dapat memberikan iklim yang kondusif untuk terselengaranya investasi. Pada tingkatan pemerintah pusat, masalah yang dihadapi adalah masih belum terlihatnya yang jelas dalam strategi pengembangan industrialisasi. Strategi yang demikian sangat diperlukan sehingga birokrasi pada pemerintah daerah propinsi dan pemerintah daerah kabupaten, dapat menyatu-padukan dan melakukan koordinasi atas rancangan-rancangan pengembangan investasinya di daerah untuk dapat mendukung tercapainya target-target dari strategi industrialisasi nasional tersebut.
Pemerintah daerah juga dituntut untuk dapat memelihara iklim usaha yang baik dan tidak memberatkan dunia usaha dan para calon investor di kawasannya masing-masing. Akhirnya bagi masyarakat, pada era demokratisasi saat ini yang sedang marak akhir-akhir ini dengan berbagai tuntutan-tuntutan yang berlebihan janganlah mengorbankan iklim usaha yang telah terbina. Pengusaha dan calon investor di manapun menuntut kenyamanan, keamanan dan kepastian berusaha dari proses penanaman modalnya di daerah. Kemajuan dan peningkatan volume produksi dari kegiatan-kegiatan investasi yang diunggulkan sudah pasti lambat laun akan memberikan efek pengganda pada perekonomian lokal dan pendapatan rumah tangga masyarakat disekitarnya.
Masih banyak lagi tantangan-tantangan lainnya untuk disebutkan satu persatu disini. Yang jelas baik kalangan pebisnis sendiri maupun para pelaku-pelaku ekonomi dan administrasi pemerintahan perlu melakukan perubahan-perubahan cara pandang, penerapan tata kelola perusahaan dan tata kelola administrasi pemerintahan yang saling mendukung demi terciptanya percepatan investasi di masing-masing daerah dan lokalitas.
Momentum percepatan investasi seperti yang terjadi di China perlu dipelajari dan ditiru, sehingga pada akhirnya dapat tercipta lapangan kerja yang lebih banyak dan manfaat untuk masyarakat yang lebih luas.
Mempersiapkan Masa Depan
Kondisi kehidupan perekonomian dan tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera merupakan harapan yang banyak ditunggu oleh putra-putri Indonesia dalam menyongsong masa depannya. Harapan yang mereka sangat tunggu adalah kapankah lapangan kerja di sekitar mereka dapat tersedia dengan cukup dan memadai. Mereka telah melihat sendiri dan turut serta dalam menggulirkan berbagai reformasi, tentunya dengan harapan pada suatu saat akan dapat mewujudkan cita-cita tersebut.
Lapangan kerja yang memadai dan penerapan sistem balas jasa di perusahaan secara berkecukupan dapat terselenggara apabila proses investasi secara langsung dapat bergulir seperti sediakala. Bahkan untuk mengejar keterlambatan dalam memacu mesin perekonomian kita, ternyata masih diperlukan lagi lonjakan jumlah investasi yang besar dan dahsyad. Kondisi perekonomian di negara kita yang berangsur baik dalam beberapa tahun terakhir masih perlu didorong lebih lanjut dengan memacu kehadiran dan tambahan investasi yang berasal dari masyarakat, investasi PMDN maupun investasi PMA.
Orientasi pada pembangunan ekonomi nasional dan lokal perlu dibuat agar lebih mendekatkan pada kepentingan kehadiran calon-calon investor di berbagai pelosok tanah air. Demikian juga perusahaan-perusahaan yang sudah ada harus dijaga eksistensinya, agar mereka tetap betah dan dapat menjalankan kegiatan usahanya di lokasi-lokasi tersebut. Tekanan-tekanan yang menuntut keadilan dan perbaikan kesejahteraan karyawan perlu dilakukan dengan sopan, senantiasa mencari solusi-solusi kompromi demi kepentingan kelangsungan hidup usaha. Janganlah tujuan-tujuan politik dan kepentingan dari segelintir kelompok dicampur-adukkan dalam proses pemberian perijinan investasi dan usaha dengan memperpanjang jalur birokrasi.
Proses otonomi daerahpun perlu dilakukan dengan bijak tanpa membebani kepentingan dunia usaha secara berkelebihan. Proses pencarian dan penetapan sumber-sumber keuangan pemerintahan daerah hendaknya dapat dilakukan dengan memperhatikan keberlangsungan dan eksistensi perusahaan-perusahaan yang telah bermukim lama di daerah.
Budaya melayani kepentingan calon investor baru perlu ditanamkan diseluruh jajaran aparat birokrasi pemerintahan. Dalam hal ini perlu dimengerti bahwa wilayah atau kawasan tempat berusaha tidak lagi dapat ditawarkan dan dipromosikan dengan mudah. Masih ada ratusan alternatif tempat usaha di berbagai lokalitas di penjuru dunia yang memiliki aksesibilitas ke pasar global. Tidak ada cara yang lebih baik apabila birokrat pemerintahan memberikan pelayanan yang terbaik, memangkas birokrasi, mengurangi beban-beban usaha yang berlebihan, menciptakan iklim investasi dan usaha serta mempersiapkan putra-putri di daerah untuk dapat berpartisipasi dalam proses kegiatan investasi. Dengan cara demikian maka kita telah memberikan warisan terbaik baik putra-putri bangsa, antara lain melalui penciptaan lapangan kerja yang lebih baik, lebih luas.
Sumber: Warta Kota, Kompas, Google
MAKALAH TENTANG INFLASI DAN DAMPAKNYA
PENDAHULUAN
Di internet telah banyak beredar artikel ataupun makalah tentang inflasi.Itu dikarenakan inflasi memang tidak dapat dipisahkan dari Perekonomian Indonesia.
Definisi Inflasi
Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga umum untuk menaik secara umum dan terus menerus atau juga dapat dikatakan suatu gejala terus naiknya harga-harga barang dan berbagai faktor produksi umum,secara terus-menerus dalam periode tertentu.Perlu diingat bahwa kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi.
ISI
Penyebab Inflasi, dapat dibagi menjadi :
Demand Side Inflation, yaitu disebabkan oleh kenaikan permintaan agregat yang melebihi kenaikan penawaran agregat
Supply Side Inflation, yaitu disebabkan oleh kenaikan penawaran agregat yang melebihi permintaan agregat
Demand Supply Inflation, yaiti inflasi yang disebabkan oleh kombinasi antara kenaikan permintaan agregat yang kemudian diikuti oleh kenaikan penawaran agregat,sehingga harga menjadi meningkat lebih tinggi
Supressed Inflation atau Inflasi yang ditutup-tutupi, yaitu inflasi yang pada suatu waktu akan timbul dan menunjukkan dirinya karena harga-harga resmi semakin tidak relevan dalam kenyataan
Penggolongan Inflasi
1.Berdasarkan Parah Tidaknya Inflasi
Inflasi Ringan (Di bawah 10% setahun)
Inflasi Sedang (antara 10-30% setahun)
Inflasi Berat ( antara 50-100% setahun)
Hiper Inflasi (di atas 100% setahun)
2.Berdasar Sebab musabab awal dari Inflasi
Demand Inflation, karena permintaan masyarakat akan berbagai barang terlalu kuat
Cost Inflation, karena kenaikan biaya produksi
3.Berdasar asal dari inflasi
Domestic Inflatuon, Inflasi yang berasal dari dalam negeri
Imported Inflation, Inflasi yang berasal dari luar negeri
Dampak Postitif Inflasi
Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi.
Orang yang mengandalkan pendapatan berdasarkan keuntungan, seperti misalnya pengusaha, tidak dirugikan dengan adanya inflasi. Begitu juga halnya dengan pegawai yang bekerja di perusahaan dengan gaji mengikuti tingkat inflasi.
Bagi orang yang meminjam uang kepada bank (debitur), inflasi menguntungkan, karena pada saat pembayaran utang kepada kreditur, nilai uang lebih rendah dibandingkan pada saat meminjam. Sebaliknya, kreditur atau pihak yang meminjamkan uang akan mengalami kerugian karena nilai uang pengembalian lebih rendah jika dibandingkan pada saat peminjaman.
Bagi produsen, inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih tinggi daripada kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan terdorong untuk melipatgandakan produksinya (biasanya terjadi pada pengusaha besar).
PENUTUP
Dampak Negatif Inflasi
Pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.
Bagi masyarakat yang memiliki pendapatan tetap, inflasi sangat merugikan. Kita ambil contoh seorang pensiunan pegawai negeri tahun 1990. Pada tahun 1990, uang pensiunnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di tahun 2003 -atau tiga belas tahun kemudian, daya beli uangnya mungkin hanya tinggal setengah. Artinya, uang pensiunnya tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Inflasi juga menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilai mata uang semakin menurun. Memang, tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat inflasi di atas bunga, nilai uang tetap saja menurun. Bila orang enggan menabung, dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang. Karena, untuk berkembang dunia usaha membutuhkan dana dari bank yang diperoleh dari tabungan masyarakat.
Filed under Inflasi dan dampaknya bagi Indonesia
sumber: cafe ekonnomi, google
Di internet telah banyak beredar artikel ataupun makalah tentang inflasi.Itu dikarenakan inflasi memang tidak dapat dipisahkan dari Perekonomian Indonesia.
Definisi Inflasi
Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga umum untuk menaik secara umum dan terus menerus atau juga dapat dikatakan suatu gejala terus naiknya harga-harga barang dan berbagai faktor produksi umum,secara terus-menerus dalam periode tertentu.Perlu diingat bahwa kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi.
ISI
Penyebab Inflasi, dapat dibagi menjadi :
Demand Side Inflation, yaitu disebabkan oleh kenaikan permintaan agregat yang melebihi kenaikan penawaran agregat
Supply Side Inflation, yaitu disebabkan oleh kenaikan penawaran agregat yang melebihi permintaan agregat
Demand Supply Inflation, yaiti inflasi yang disebabkan oleh kombinasi antara kenaikan permintaan agregat yang kemudian diikuti oleh kenaikan penawaran agregat,sehingga harga menjadi meningkat lebih tinggi
Supressed Inflation atau Inflasi yang ditutup-tutupi, yaitu inflasi yang pada suatu waktu akan timbul dan menunjukkan dirinya karena harga-harga resmi semakin tidak relevan dalam kenyataan
Penggolongan Inflasi
1.Berdasarkan Parah Tidaknya Inflasi
Inflasi Ringan (Di bawah 10% setahun)
Inflasi Sedang (antara 10-30% setahun)
Inflasi Berat ( antara 50-100% setahun)
Hiper Inflasi (di atas 100% setahun)
2.Berdasar Sebab musabab awal dari Inflasi
Demand Inflation, karena permintaan masyarakat akan berbagai barang terlalu kuat
Cost Inflation, karena kenaikan biaya produksi
3.Berdasar asal dari inflasi
Domestic Inflatuon, Inflasi yang berasal dari dalam negeri
Imported Inflation, Inflasi yang berasal dari luar negeri
Dampak Postitif Inflasi
Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi.
Orang yang mengandalkan pendapatan berdasarkan keuntungan, seperti misalnya pengusaha, tidak dirugikan dengan adanya inflasi. Begitu juga halnya dengan pegawai yang bekerja di perusahaan dengan gaji mengikuti tingkat inflasi.
Bagi orang yang meminjam uang kepada bank (debitur), inflasi menguntungkan, karena pada saat pembayaran utang kepada kreditur, nilai uang lebih rendah dibandingkan pada saat meminjam. Sebaliknya, kreditur atau pihak yang meminjamkan uang akan mengalami kerugian karena nilai uang pengembalian lebih rendah jika dibandingkan pada saat peminjaman.
Bagi produsen, inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih tinggi daripada kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan terdorong untuk melipatgandakan produksinya (biasanya terjadi pada pengusaha besar).
PENUTUP
Dampak Negatif Inflasi
Pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.
Bagi masyarakat yang memiliki pendapatan tetap, inflasi sangat merugikan. Kita ambil contoh seorang pensiunan pegawai negeri tahun 1990. Pada tahun 1990, uang pensiunnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di tahun 2003 -atau tiga belas tahun kemudian, daya beli uangnya mungkin hanya tinggal setengah. Artinya, uang pensiunnya tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Inflasi juga menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilai mata uang semakin menurun. Memang, tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat inflasi di atas bunga, nilai uang tetap saja menurun. Bila orang enggan menabung, dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang. Karena, untuk berkembang dunia usaha membutuhkan dana dari bank yang diperoleh dari tabungan masyarakat.
Filed under Inflasi dan dampaknya bagi Indonesia
sumber: cafe ekonnomi, google
Tugas 3
1. jelaskan dengan singkat mengenai
a. Neraca pembayaran
merupakan suatu ikhtisar yang meringkas transaksi-transaksi antara penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Neraca pembayaran mencakup pembelian dan penjualan barang dan jasa, hibah dari individu dan pemerintah asing, dan transaksi finansial.
b. Modal asing
adalah modal yang berasal dari luar perusahaan yang sifatnya sementara bekerja di dalam perusahaan, dan bagi perusahaan yang bersangkutan modal tersebut merupakan utang, yang pada saatnya harus di bayar kembali. Modal asing di bagi ke dalam tiga golongan yaitu utang jangka pendek, utang jangka menengah dan utang jangka panjang.
c. Hutang luar negeri
adalah semua pinjaman yang menimbulkan kewajiban membayar
kembali terhadap pihak luar negeri baik dalam valuta asing maupun dalam Rupiah.
Termasuk dalam pengertian pinjaman luar negeri adalah pinjaman dalam negeri yang
menimbulkan kewajiban membayar kembali terhadap pihak luar negeri.
2. Sebutkan dan jelaskan manfaat modal asing
· penurunan biaya bunga APBN
· sumber investasi swasta
· pembiayaan Foreign Direct Investment (FDI)
· pembiayaan kedalaman pasar modal
· tambahan stok barang modal tahan lama yang akan memperbesar peluang produksi di masa mendatang
3. sebutkan dan jelaskan dampak hutang luar negeri terhadap pembagunan di indonesia
1. rakyat pembayar pajak, yang saat ini sedang gencar-gencarnya digalakan oleh Ditjen Pajak, harus merelakan sebagian pajak yang dibayarkannya dipergunakan oleh pemerintah untuk membayar cicilan pokok utang dan bunga.
2. rakyat kebanyakan juga harus ikhlas dan sabar membiarkan pemerintah memotong jatah dana pembangunan dari APBN, yang semestinya bisa untuk membiayai program peningkatan kesejahteraan rakyat, terpaksa harus digunakan untuk membayar cicilan pokok utang dan bunga.
3. utang akan menyuburkan lahan korupsi bagi aparat birokrasi terkait di negara penerima. Beberapa studi membuktikan bahwa semakin besar utang suatu negara, semakin besar pula potensi korupsi dan penyalahgunaan dana utang tersebut.
4. rendahnya nilai tambah utang sebagai sumber dana pembangunan. Dalam setiap pemberian utang kepada Indonesia, negara-negara kreditor selalu memaksakan persyaratan yang memberatkan dan kadang merugikan bangsa Indonesia.
5. dampak yang teramat serius adalah ancaman terampasnya kedaulatan dalam pengelolaan ekonomi Indonesia. Negara-negara kreditor, melalui Bank Dunia dan IMF, juga biasanya mendesak agar dalam perumusan setiap kebijakan ekonomi Indonesia yang sesuai dengan keinginan mereka, yang tentunya kebijakan tersebut disesuaikan dengan kepentingan negara-negara kreditor.
Sumber :
disusun oleh :
nama:maretta fransiska br sinuraya
npm :24210200
kelas :1eb11
Langganan:
Postingan (Atom)